A. PENDAHULUAN
Segala puja dan puji hanyalah milik Allah SWT yang
telah menjadikan Al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai sumber hukum ajaran Islam yang asasi.
Sholawat beriring salam semoga selalu tercurah kepada
Rosulullah SAW, yang dengan perantara beliau kita semua bisa bersatu dalam
ikatan ukhuwwah islamiyyah, dan insyaallah dengan sholawat ini kita semua akan
mendapatkan syafaatnya di hari kiamat kelak, Amien.
Sebagaimana
kita ketahui bersama bahwa Allah SWT telah menjadikan masholihul ‘ibad sebagai
maksud dari penetapan hukum-hukum dalam Islam, dan untuk membimbing kita dalam
memahami ini semua Allah SWT telah menurunkan Al-Qur’an dan menetapkannya
bersama Sunnah Rosulullah SAW sebagai sumber utama ajaran Islam.
Akan
tetapi, nash-nash yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rosulullah SAW
sangatlah terbatas, sedangkan banyak perkara-perkara baru yang bermunculan yang
belum mendapatkan penjelasan secara tuntas di dalam Al-Qur’an maupun Sunnah
yang harus ditetapkan hukumnya, agar kaum muslimin tidak terjebak dalam
keraguan dan ketidak pastian hukum dalam menjalani kehidupan.
Oleh
karena itu, pembahasan tentang qiyas sebagai salah satu dalil syar’I menjadi
sangatlah penting, hal ini guna menambah wawasan kita tentang keluwesan dan ke”soleh”an
ajaran Islam likulli makanin wa zaman, dan sebagai bukti konkret bahwa
memang ajran Islam ini diturunkan sebagai Rohmatan lil’alamin.
Pada
makalah ini, insyaallah penulis akan berusaha sedikit menguraikan tentang
kedudukan qiyas sebagai dalil Syar’I, yang tentunya di dalam makalah ini masih
terdapat banyak sekali kekurangan, dan sangat jauh dari kesempurnaan, sehingga
saran, kritikan dan ide-ide brilian dari para pembacanya sangat dibutuhkan
untuk melengkapi makalah yang mutawadhi’ ini.
B.
PENGERTIAN QIYAS
Secara bahasa (etimologi), Qiyas memiliki
beberapa arti diantaranya :
mengukur
sesuatu atas sesuatu yang lain.
mengukur
dan kemudian menyamakannya.
Mengukur sesuatu atas sesuatu
yang lainnya dan kemudian menyamakannya.
Oleh
karena itulah, dalam konteks pengertian bahasa, Jika
seseorang mengukur sesuatu dan kemudian menyamakannya dengan sesuatu yang lain,
disebut qiyas.
Sedangkan menurut istilah (terminologi), terdapat beberapa definisi
yang dikemukakan para ahli ushul fiqh, di antaranya :
1.
Al-Qadli
Abu Bakar al-Baqillani, mendefinisikan qiyas sebagai berikut :
Memasukkan/menanggungkan sesuatu
yang diketahui (far’) kepada sesuatu yang diketahui (ashl) dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau
meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama di antara keduanya.
2.
Sadr
al-Syari’ah ibn Mas’ud mendefinisikannya :
Mengenakan hukum dari ashl kepada far’ karena adanya
‘illat yang mempersatukannya yang tidak bisa diketahui melalui pendekatan
bahasa (literal) semata.
3.
Abu
Zahrah memberikan definisi qiyas sebagai berikut :
Menghubungkan suatu perkara yang
tidak ada nash tentang hukumnya kepada perkara lain yang ada nash hukumnya
karena keduanya berserikat dalam ‘illat hukum.
4.
Abdul
Wahab Khallaf mendefinisikan qiyas sebagai berikut :
إلحاق
واقعة لا
نص على
حكمها بواقعة
ورد نص
بحكمها في
الحكم ورد
به النص
لتساوي الواقعتين
في علة
هذاالحكم
[7]
Menghubungkan suatu kejadian
yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang ada nashnya, dalam hukum yang
telah ditetapkan oleh nash karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalam ‘illat
hukumnya.
5.
Wahbah
al-Zuhaili memberikan definsi yang senada yaitu :
Dari uraian beberapa definisi tentang qiyas diatas
dapatlah kita temukan bahwa setiap definisi tersebut sepakat terhadap hal-hal
berikut ini :
§
Terdapat
dua perkara yang memiliki ‘illat yang sama.
§
Dari dua
perkara tersebut, Satu di antaranya sudah memiliki ketetapan hukum yang berdasarkan nash (ashl), sedangkan perkara
yang satu lagi belum diketahui hukumnya (far’).
§
Berdasarkan
‘illat yang sama itulah, seorang mujtahid menetapkan hukum pada kasus yang
tidak ada nashnya itu seperti hukum yang berlaku pada kasus yang hukumnya telah
ditetapkan berdasarkan nash.[9]
C.
Qiyas sebagai Dalil Syar’i
Terdapat
2 pendapat dikalangan para ulama dalam menyikapi penerimaan qiyas sebagai dalil
Syar’I, yaitu :
1.
(مثبتوا القياس)[10] atau kelompok yang menetapkan kehujjahan qiyas sebagai dalil
syar’I, kelompok ini dimotori oleh jumhur ulama.
2.
(نفاة القياس)[11] atau Kelompok yang menyatakan menolak penggunaan qiyas secara
mutlak, kelompok ini dimotori oleh ulama Zhahiriyah dan Syi’ah Imamiyah.
Zhahiriyah juga menolak penemuan ‘illat atas suatu hukum dan menganggap tidak
perlu mengetahui tujuan ditetapkannya suatu hukum syara’
Dalil-dalil yang dikemukakan jumhur
ulama dalam menerima qiyas sebagai dalil syar’i adalah:
1.
Dalil
al-Qur’an
Terdapat
paling tidak 3 ayat yang paling sering dipakai oleh Jumhur ulama sebagai dalil
tentang kehujjahan qiyas, yaitu :
a.
Allah
SWT memberi petunjuk bagi penggunaan qiyas dengan cara menyamakan dua hal
sebagaimana terdapat dalam surat Yasin ayat 78-79 yang artinya :
“ dan ia membuat
perumpamaan bagi kami; dan Dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata:
"Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur
luluh?"
“
Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang
pertama. dan Dia Maha mengetahui tentang segala makhluk”.
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah mengqiyaskan
kemampuan-Nya menghidupkan tulang belulang yang telah berserakan di kemudian
hari dengan kemampuan-Nya dalam menciptakan tulang belulang pertama kali. Hal
ini berarti bahwa Allah menyamakan menghidupkan tulang tersebut kepada
penciptaan pertama kali sebagai jawaban dari pertanyaan orang-orang yang
mengingkari keberadaan hari kebangkitan.
Kelompok Zhahiriyah menolak
argumentasi ini. Mereka berpandangan bahwa maksud ayat tersebut hanyalah
sebagaimana arti lahirnya, yaitu : yang sanggup menciptakan sesuatu pertama
kali, sanggup pula menghidupkan orang mati.
b.
Allah
menyuruh menggunakan qiyas sebagaimana dipahami dari beberapa ayat al-Qur’an,
seperti dalam surat al-Hasyr ayat 2 yang artinya:
“ Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di
antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang
pertama[1463]. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun
yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa)
Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak
mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka
memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan
orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai
orang-orang yang mempunyai wawasan.”
Di dalam
ayat ini dengan tegas Allah memerintahkan kepada setiap orang yang berakal
untuk mengambil I’tibar dari kejadian yang menimpa bani Nadhir. Kata فاعتبروا merupakan
perintah agar kita mengqiyaskan diri kita kepada mereka, karena kita dan
mereka adalah sama-sama manusia sehingga bila kita berbuat seperti apa yang mereka
perbuat, maka kita akan mengalami siksaan seperti apa yang telah mereka alami.
Kelompok
Zhahiriyah menolak argumentasi jumhur ulama dengan mengatakan bahwa tidak ada
peluang sedikitpun bagi qiyas dalam ayat tersebut. Tidak satupun ilmu mengenai
bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an yang menjelaskan bahwa i’tibar berarti
qiyas. Ayat tersebut memperkenalkan kebesaran dan kekuasaan Allah. Al-Ibrah
dalam arti bahasa hanyalah penjelasan tentang sesuatu. Sama sekali tidak ada
pengertian untuk menetapkan hukum tentang sesuatu yang tidak ditentukan dalam
syari’at dengan hukum pada sesuatu yang disebutkan ketentuannya dalam syari’at.
c.
Firman
Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 59 :
“ Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
kemudian jika kamu berselisih paham tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.”
Perintah menaati Allah berarti
perintah mengikuti hukum dalam al-qur’an, perintah mengikuti Rasul berarti
perintah untuk melaksanakan hukum yang terdapat dalam Sunnah dan perintah
menaati ulul amri berarti perintah mengikuti hukum hasil ijma’. Sedangkan
kata-kata di akhir ayat yang berbunyi :
“Jika
kamu berselisih paham tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan
Rasul”,
berarti
perintah untuk mengikuti qiyas dalam hal-hal terdapat perbedaan. Ini memberi
penjelasan bahwa pengembalian ini berlaku atas perintah Allah dan Rasul. Arti
ayat tersebut adalah suruhan untuk menghubungkan kepada al-Qur’an dan Sunnah
dengan cara pemikiran mendalam untuk mencari kesamaannya dengan yang ada dalam
nash. Kesamaan itu hanya dapat diketahui melalui penggunaan nalar (ra’yu).
Argumentasi jumhur ini ditanggapi oleh kelompok Zhahiriyah yang mengatakan
bahwa perintah Allah untuk mengembalikan sesuatu kepada Allah ketika beda
pendapat yaitu kepada firman-Nya dalam al-Qur’an, Dan mengembalikan sesuatu
kepada Nabi yaitu sabdanya dalam Sunnah. Tidak ada perintah untuk mengembalikan
sesuatu kepada qiyas. Jelas bahwa selain al-Qur’an dan Sunnah tidak dapat
dijadikan rujukan ketika terjadi perbedaan pendapat. Qiyas menurut Zhahiriyah
bukan al-Qur’an atau Sunnah, karenanya tidak ada yang dapat dikembalikan kepada
qiyas.
2.
Dalil
Sunnah
Di antara dalil sunnah yang
dikemukakan jumhur ulama sebagai argumentasi bagi penggunaan qiyas adalah :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ « كَيْفَ تَقْضِى إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ ». قَالَ أَقْضِى بِكِتَابِ اللَّهِ. قَالَ « فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى كِتَابِ اللَّهِ ». قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. قَالَ « فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَلاَ فِى كِتَابِ اللَّهِ ». قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِى وَلاَ آلُو. فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَدْرَهُ وَقَالَ « الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِى رَسُولَ اللَّهِ ».[12]
Sesungguhnya Rosulullah SAW ketika beliau
hendak mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman beliau bertanya :, “Dengan cara apa engkau
menetapkan hukum seandainya kepadamu diajukan sebuah perkara? Mu’adz menjawab :
“Saya menetapkan hukum berdasarkan Kitab Allah”. Rasul bertanya lagi : “Bila engkau tidak menemukan
hukumnya dalam Kitab Allah?” Jawab Mu’adz, “Dengan Sunnah Rasul”, Rasul
bertanya lagi : “Jika dalam Sunnah juga engkau tidak menemukannya?”, Mu’adz
menjawab : Saya akan menggunakan ijtihad dengan nalar (ra’yu) saya. Rasul
bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq atas diri utusan dari Rasulullah dengan apa-apa yang diridhoi Rosul-Nya”.
Hadis tersebut merupakan dalil
Sunnah yang kuat, menurut jumhur ulama, tentang kekuatan qiyas sebagai dalil
syara’.
Namun hadis ini ditolak oleh
Zhahiri, baik dari segi matan maupun dari segi sanad. Menurut Zhahiri dari segi
sanad hadis ini dianggap gugur, karena tidak seorangpun yang meriwayatkan hadis
ini di luar jalur periwayatan ini. Kelompok ulama Zhahiri juga menilai bahwa
hadis tersebut maudhu’ dan jelas kebohongannya, karena mustahil ada hukum yang
tidak dijelaskan dalam al-Qur’an. Dari segi artinya, menurut Zhahiri, hadis
Mu’adz itu tidak sedikitpun menyebut tentang qiyas dengan cara apapun. Dalam hadis
ini hanya disebutkan penggunaan ra’yu; penggunaan ra’yu tidaklah berarti qiyas.
3.
Atsar
Shahabi
Adapun argumentasi jumhur ulama
berdasarkan atsar sahabat dalam pengakuan qiyas adalah :
a.
Surat
Umar ibn Khattab kepada abu Musa al-Asy’ari sewaktu diutus menjadi qadhi di
Yaman. Umar berkata :
اقض بكتاب
الله فإن
لم تجد
فبسنة رسول
الله فإن
لم تجد
فا جتهد
رأيك
Putuskanlah
hukum berdasarkan kitab Allah. Bila kamu tidak menemukannya maka putuskan
berdasarkan Sunnah Rasul. Jika tidak juga kamu peroleh di dalam sunnah,
berijtihadlah dengan menggunakan ra’yu.
Pesan
Umar ini dilanjutkan dengan :
Ketahuilah
kesamaan dan keserupaan, dan Qiyaskanlah
perkara-perkara tersebut dengan pendapatmu.
Bagian
pertama atsar ini menjelaskan suruhan menggunakan ra’yu pada waktu tidak
menemukan jawaban dalam al-Qur’an maupun Sunnah, sedangkan bagian akhir atsar
ini secara jelas menyuruh mencari titik perbandingan dan kesamaan di antara dua
hal dan menggunakan qiyas bila menemukan kesamaan.
Atsar
Shahabi ini dibantah oleh ulama Dzahiriyah, dari segi sanad maupun dari segi
maksud matannya. Atsar Shahabi berupa surat Umar itu ditolak oleh Zhahiri untuk
dijadikan dalil bahwa sahabat Nabi menggunakan qiyas, bahkan banyak ucapan Umar
yang menurut merreka justru menolak qiyas.
b.
Para
sahabat Nabi banyak menetapkan pendapatnya berdasarkan qiyas. Contoh yang
populer adalah kesepakatan sahabat mengangkat Abu Bakar menjadi khalifah
pengganti Nabi. Mereka menetapkannya dengan dasar qiyas yaitu karena Abu Bakar
pernah ditunjuk Nabi menggantikan beliau menjadi Imam shalat jama’ah sewaktu
beliau sakit. Hal ini dijadikan alasan untuk mengangkat Abu Bakar menjadi
khalifah. Para sahabat berkata, “Nabi telah menunjuknya menjadi pemimpin urusan
agama kita, kenapa kita tidak memilihnya untuk memimpin urusan dunia kita”.
Kedudukan Abu Bakar sebagai khalifah diqiyaskan kepada kedudukannya sebagai
imam shalat jama’ah. Ternyata argumen ini dipahami sahabat (yang hadir dalam
pertemuan itu), sehingga mereka sepakat untuk mengangkat Abu Bakar dengan cara
tersebut.
Alur
pemikiran ini ditolak oleh Zhahiri dengan mengatakan bahwa penunjukan Abu Bakar
oleh Rasul sebagai Imam shalat bukan alasan kuat untuk penunjukannya sebagai
khalifah. Jika itu dijadikan alasan, maka niscaya Abu Bakar tidak lebih utama
dari Ali menjadi khalifah, karena Ali pun pernah diserahi Rasul menjadi imam
shalat di Madinah waktu perang Tabuk yang merupakan perang terakhir bagi
Rasul. Karena itu, menurut Zhahiri
mengqiyaskan kasus penggantian tersebut yang berhubungan dengan shalat dan
hukum, akan lebih tepat untuk mengqiyaskan penggantian terhadap shalat saja.
Seseorang yang diangkat menjadi khalifah sesudah wafat Rasul adalah dalam hal
sifat pribadinya yang selalu memperhatikan umat.
Kelompok
Zhahiri juga berpendapat bahwa pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah bukan
melalui qiyas dengan penunjukan Rasul sebagaimana imam shalat, tetapi karena
pada waktu itu Abu Bakar adalah orang yang paling utama di antara para sahabat
Rasul. Ketentuan tentang imamah adalah pada kriteria sebagai orang yang paling
utama.
D.
Rukun Qiyas
Qiyas baru dianggap sah bilamana lengkap rukun-rukunnya. Para ulama
ushul fiqh sepakat bahwa yang menjadi rukun qiyas itu ada empat yaitu :[14]
1.
الأصل (pokok tempat mengqiyaskan sesuatu), yaitu masalah yang telah
ditetapkan hukumnya baik dalam al-Qur’an maupun dalam Sunnah Rasulullah.
2.
Adanya
hukum ashl yaitu hukum syara’ yang terdapat pada ashl yang hendak ditetapkan
pada far’u (cabang) dengan jalan qiyas. Misalnya hukum haram khamar ditetapkan
dalam al-Qur’an.
Syarat-syarat
hukum ashl, menurut Abu Zahrah antara lain :[15]
a.
Hukum
ashl hendaklah berupa hukum syara’ yang berhubungan dengan amal perbuatan karena
yang menjadi kajian ushul fiqh adalah hukum yang menyangkut amal perbuatan.
b.
Hukum
ashl dapat ditelusuri ‘illat hukumnya. Misalnya hukum haramnya khamar dapat
ditelusuri mengapa khamar itu diharamkan yaitu karena memabukkan dan bisa
merusak akal pikiran, bukan hukum-hukum yang tidak dapat diketahui ‘illat
hukumnya (ghairu ma’qul al-ma’na), seperti masalah bilangan rakaat shalat.
c.
Hukum
ashl itu bukan merupakan kekhususan bagi Nabi Muhammad SAW, misalnya kebolehan
Rasulullah beristri lebih dari empat orang wanita sekaligus.
3.
Adanya
Cabang (far’u) yaitu sesuatu yang tidak ada ketegasan hukumnya dalam al-Qur’an,
Sunnah atau ijma’ yang hendak ditemukan hukumnya melalui qiyas, misalnya
minuman keras wisky.
4.
‘Illat ( العلة ), yaitu suatu sifat atau keadaan yang
menjadi alasan atau dasar penetapan hukum pada pokok dan ‘illat ini juga
terdapat pada cabang (far’u) yang akan dicari hukumnya. Rukun yang satu ini
merupakan inti dari praktek qiyas, karena berdasarkan ‘illat itulah hukum-hukum
yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah dapat dikembangkan.
Menurut
bahasa ‘illat berarti sesuatu yang bisa mengubah keadaan, sedangkan menurut
istilah, seperti apa yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili : Suatu sifat yang
konkrit dan dapat dipastikan keberadaannya pada setiap pelakunya dan menurut
sifatnya sejalan dengan tujuan pembentukan suatu hukum yaitu mewujudkan
kemaslahatan dengan meraih kemanfaatan dan menolak kemudratan dari umat
manusia.[16]
Syarat-syarat
‘Illat
Suatu ‘illat
dapat diterima atau dijadikan sebagai dasar pijakan dalam penetapan hukum bila
telah memenuhi sejumlah persyaratan dan kriteria yang sudah ditentukan, dan ini
terkait dengan kepentingan pelaksanaan qiyas dan keabsahan serta eksistensinya
sebagai dasar dalam penetapan hukum syara’.
Adapun
syarat-syarat ‘illat yang telah disepakati adalah sebagai berikut[17]:
1.
أن تكون وصفا ظاهرا ‘Illat hendaklah merupakan sifat yang jelas.
2.
أن تكون وصفا منضبطا ‘Illat hendaklah
merupakan sifat yang pasti dan akurat (washfan mudhabithan)
3.
أن تكون وصفا مناسبا ‘Illat merupakan sifat
yang serasi dan ada relevansinya dengan hukum yang ditetapkan (washfan
munasiban)
4.
أن لا تكون وصفا قاصرا على الأصل ‘Illat
bukan hanya sifat yang dapat berlaku pada pokok tetapi juga dapat diberlakukan
pada cabang.
Cara
Mengetahui ‘Illat (Masalik al-‘Illat)
Masalik
al-‘illat adalah cara atau metode untuk mengetahui ‘illat dalam suatu hukum
atau hal-hal yang memberi petunjuk kepada kita adanya ‘illat dalam suatu hukum.
Ada beberapa cara untuk mengetahui ‘illat,
Ada petunjuk yang jelas dan ada yang kurang jelas, ada yang langsung dan
ada yang tidak langsung. Masalik al-‘illat adalah sebagai berikut :
1.
Nash
Penetapan
nash sebagai salah satu cara dalam menetapkan ‘illat, namun tidaklah berarti
bahwa ‘illat itu langsung disebut dalam nash, tetapi dalam lafaz-lafaz yang
digunakan dalam nash dapat dipahami adanya ‘illat. Lafaz-lafaz nash yang
memberi petunjuk terhadap ‘illat itu ada dua macam :
a.
Nash
sharih ( نص صريح ), yaitu lafaz-lafaz dalam nash yang secara jelas memberi
petunjuk mengenai ‘illat dan tidak ada kemungkinan selain itu.
b.
Nash Isyaroh dan
Tanbih ( النص إيماء أو إشارة و تنبيها ) yaitu
lafaz-lafaz yang secara Isyarat digunakan untuk menunjukkan ‘illat.
2.
Ijma’
Ijma’
sebagai salah satu masalik berarti ijma’ itu menjelaskan ‘illat dalam hukum
yang disebutkan pada suatu nash. Contoh : Hadis tentang larangan seseorang
menghakimi orang dalam keadaan marah. Ijma’ menetapkan bahwa ‘illat tidak
sahnya hakim menghadapi perkara dalam keadaan marah, adalah “marah” karena
dapat mengganggu pikiran.
3.
As-Sabru wat Taqsim
As-Sabru wat taqsim ( السبر و التقسيم )
secara harfiah berarti memperhitungkan dan mengelompokkan. Yang dimaksud di
sini adalah meneliti kemungkinan sifat yang terdapat dalam ashal, kemudian mengelompokkan
sifat-sifat yang ada dan mengujinya satu persatu untuk menjadi ‘illat, kemudian
menyingkirkan sifat-sifat yang tidak pantas menjadi ‘illat setelah pengujian
sehingga tertinggallah satu sifat yang menjadi ‘illat untuk hukum ashal
tersebut.
E. PEMBAGIAN QIYAS
Apabila kita membagi qiyas dari segi
kekuatan ‘illat yang terdapat pada furu’, dibandingkan pada ‘illat yang
terdapat pada ashl. Maka Dalam
hal ini qiyas dapa dibagi menjadi 3 bagian,
yaitu :[18]
a.
Qiyas Awlawi
( قياس اولوي ), yaitu bahwa ‘illat
yang terdapat pada far’u (cabang) lebih utama daripada ‘illat yang terdapat
pada ashl (pokok). Misalnya mengqiyaskan hukum haram memukul kedua orang tua
kepada hukum haram mengatakan “ah”
yang terdapat dalam surat al-Isra’ ayat 23.
Karena
alasan (‘illat) sam-sama menyakiti orang tua. Namun, tindakan memukul dalam hal
ini cabang (far’u) lebih menyakiti orang tua sehingga hukumnya lebih berat
dibandingkan dengan haram mengatakan “ah” pada ashl.
b.
Qiyas
Musawi ( قياس مساوي ) yaitu qiyas di mana illat yang terdapat pada
cabang (far’u) sama bobotnya dengan bobot ‘illat yang terdapat pada ashl
(pokok). Misalnya ‘illat hukum haram membakar harta anak yatim yang dalam hal
ini adalah cabang sama bobot ‘illat haramnya dengan tindakan memakan harta anak
yatim. Karena tindakan tersebut sama-sama melenyapkan harta anak yatim.
c.
Qiyas
al-Adna ( قياس الأدنى ), yaitu qiyas di mana ‘illat yang terdapat
pada furu’ (cabang) lebih rendah bobotnya dibandingkan dengan ‘illat yang
terdapat pada ashl (pokok). Misalnya, Mengqiyaskan apel kepada gandum dalam
menetapkan berlakunya riba fadhal bila dipertukarkan dengan barang sejenis.
‘Illatnya adalah bahwa ia adalah makanan. Memberlakukan hukum riba pada apel
lebih rendah daripada berlakunya hukum riba pada gandum karena ‘illatnya lebih
kuat.
KESIMPULAN
Dari uraian singkat tentang qiyas yang ada dalam makalah
yang mutawadi’ ini dapatlah kita
simpulkan bahwa :
1.
Al-Qiyas
adalah salah satu dalil syar’i dan juga merupakan salah satu metode
ijtihad yang berperan efektif dalam mengungkapkan
hukum dari sumber utamanya (al-Qur’an dan Sunnah).
2.
Untuk
menerapkan qiyas haruslah terpenuhi empat rukun, yaitu : ashl
(pokok), hukum ashl, far’ (cabang), dan ‘illat.
3.
Qiyas
merupakan metode yang sangat dibutuhkan untuk menjawab segala perkembangan
zaman yang selalu memunculkan perkara-perkara baru yang hukumnya belum
ditetapkan di dalam Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’.
PENUTUP
Demikianlah makalah ini penulis buat, dengan harapan
bisa bermanfaat bagi penulis pada khususnya, dan seluruh pembaca pada umumnya,
serta menjadi pemberat timbangan kebaikan bagi kita semua di hari perhitungan
kelak.
Amien, Allahumma amien…
DAFTAR PUSTAKA
Alyasa Abubakar, Teori
‘Illat dan Penalaran Ta’lili, dalam Tjun Suryaman (Edit), Hukum Islam Indonesia
: Pemikiran dan Praktek, (Bandung: PT Remaja Rosada Karya, 1991).
Zaki
al-Din Sya’ban, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Mesir: Dar al-Ta’lif, 1965).
Musthafa Said al-Khin, ‘Asr
al-Ikhtilaf fi Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha, (Kairo: Muassasat
al-Risalah, 1969).
Umar
Abdullah, Sullam al-Wushul li ‘ilmi al-Ushul, (Kairo: Dar al-Ma’arif,
1956).
Al-Syaukani, Muhammad Ibn
Ali Muhammad, Irsyad al-Fuhul, (Mesir: Dar al-Fikr).
Abd. al-Wahab Khallaf, Mashadir
al-Tasyri’ fi Ma la Nassa Fih, (Kuwait: Dar
al-Qalam, 1972).
Muhammad Abu Zahrah, Ushul
al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi).
Abdul
Wahab Khallaf, ‘Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo: Dar al-Qalam, 1978).
Wahbah
al-Zuhaili, Al-Wasit fi Usul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: al-Mathba’ah
al-ilmiyah, 1969).
Amir Syarifuddin,Prof.Dr.H.,
Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), cet. Ke-4.
Abu Dawud,
Sulaiman bin Al Asy ‘Ats Al Azady As Sajestany, Sunan Abi Dawud (Cairo : Darul
Hadits) Jilid 10.
Fakhruddien, Muhammad bin
Umar bin Al Husein Ar Razi, Al Mahshul fi ‘Ilmil Ushul (Muassasah Ar
Risalah, Dirosah wa Tahqiq DR. Thoha Jabir Fayyadh Al ‘alwani) jilid 5.
Satria Effendi, M. Zein,
Prof.Dr.H., MA, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2005),
cet.ke-2.
[2] Musthafa Said al-Khin, ‘Asr al-Ikhtilaf fi Qawaid al-Ushuliyyah fi
Ikhtilaf al-Fuqaha, (Kairo: Muassasat al-Risalah, 1969), h.468
[3] Umar Abdullah, Sullam al-Wushul li ‘ilmi al-Ushul, (Kairo: Dar
al-Ma’arif, 1956), h.205
[4] Al-Syaukani, Muhammad Ibn Ali Muhammad, Irsyad al-Fuhul,
(Mesir: Dar al-Fikr, tt), h.198
[5] Abd. al-Wahab Khallaf, Mashadir al-Tasyri’ fi Ma la Nassa Fih, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1972),
h.21-23
[6] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr
al-‘Arabi, t.t.), h. 218
[7] Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo: Dar al-Qalam,
1978), h. 52
[8] Wahbah al-Zuhaili, Al-Wasit fi Usul al-Fiqh al-Islami,
(Damaskus: al-Mathba’ah al-ilmiyah, 1969), h.367
[9] Amir Syarifuddin,Prof.Dr.H., Ushul Fiqh, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2008), cet. Ke-4, h.173-177
[12] Abu Dawud, Sulaiman bin Al Asy ‘Ats Al Azady As
Sajestany, Sunan Abi Dawud (Cairo : Darul Hadits) Jilid 10, Hal. 463
[13] Fakhruddien,
Muhammad bin Umar bin Al Husein Ar Razi, Al Mahshul fi ‘Ilmil Ushul
(Muassasah Ar Risalah, Dirosah wa Tahqiq DR. Thoha Jabir Fayyadh Al
‘alwani) jilid 5, hal. 54
[14] Lihat Abd. Wahab Khallaf, ‘Ilmu Ushul Fiqh, op. cit., h. 60-63,
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, op. cit., h.227-229
[15] Abu Zahrah, Ushul Fiqh, op. cit. , h. 232-235
[16] Dikutip dari Satria Effendi, M. Zein, Prof.Dr.H., MA, Ushul Fiqh,
(Jakarta: Kencana Prenada Group, 2005), cet.ke-2, h.135
[17] Lihat Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, op. cit., h.
68-70
[18] Lihat Wahbah Zuahili, al-Wasit fi Ushul al-Fiqh, (Damaskus:
al-Matba’ah al-Islamiyah, 1969), cet.ke2, sebagaimana dikutip dalam Satria
Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, op. cit., h.140-142
Makasi mas ilmu-nya..
BalasHapussama-sama bro..
Hapus