1.
Pendahuluan
Segala puji hanyalah milik Allah SWT, Sholawat dan
salam semoga selalu tercurah kepada baginda Rosulullah SAW, keluarganya,
sahabat-sahabatnya, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Pernikahan merupakan suatu ikatan perkawinan yang
menghalalkan antara suami istri untuk melakukan hubungan suami istri. Di dalam
pernikahan dituntut untuk selalu dapat menjaga dan mempertahankan keharmonisan
dan keutuhan rumah tangga, sehingga tercipta keluarga yang sakinah mawaddah wa
rohmah. Namun, terkadang di dalam rumah tangga sering terjadi konflik keluarga.
Hal inilah yang dapat menyebabkan suatu keluarga tersebut terjadi perceraian.
Di dalam agama Islam perceraian merupakan perbuatan
yang halal namun sangat dibenci oleh Allah SWT. Untuk itu agama Islam
menetapkan suatu aturan hukum yang mengatur pernikahan, perceraian, dan semua
hal yang berkaitan dengannya, sehingga tujuan untuk membentuk keluarga yang
utuh dan harmonis dapat dicapai. Maka dari itulah, membahas masalah Iddah dan
juga Ihdad ini menjadi sangatlah penting bagi
kaum muslimin, sehingga kita semua bisa menjauhkan diri kita dari
hal-hal yang dilarang dalam agama. Iddah dan Ihdad ini dibahas guna memberikan
pemahaman yang benar kepada setiap muslim bahwa setelah perceraian dilakukan
ada hukum-hukum islam yang harus difahami dan diamalkan sebagai akibat dari
perceraian itu sendiri, khususnya bagi perempuan. Yaitu masalah Iddah dan
Ihdad. Dan pada makalah ini penulis akan berusaha membahas kedua hal tersebut,
dan hukum-hukum yang berkaitan dengan keduanya.
2.
Definisi ‘Iddah dan Ihdad
·
Definisi ‘Iddah
Sedangkan pengertian ‘Iddah menurut syara’ terdapat
banyak sekali pendapat para ulama, yang secara garis besarnya dapat dibagi menjadi 2 madzhab yaitu madzhab Hnafiyyah dan
madzhab Jumhur Ulama.
Menurut Madzhab Hanafiyah, ‘Iddah adalah:
تربص يلزم المرأة عند زوال النكاح أو شبهته[2]
“Iddah adalah batasan-batasan waktu menunggu
yang diharuskan atas wanita karena
dampak dari hilangnya pernikahan”. atau dengan pengertian lain yaitu waktu menunggu yang
diwajibkan bagi perempuan untuk melanjutkan atau memutuskan pernikahan.
Sedangkan menurut Jumhur Ulama ‘iddah adalah :
Sedangkan menurut Jumhur Ulama ‘iddah adalah :
اسم لمدة تتربص فيها المرأة لمعرفة براءة رحمها أو للتعبد
أو لتفجعها على زوجها[3]
“Nama masa menunggu bagi seorang
wanita untuk memastikan atau mengetahui kekosongan rahimnya (apakah ada janin
yang dikandungnya atau tidak), juga sebagai tanda pengabdian diri kepada Allah,
dan berkabung karena ditinggal mati oleh suami”.
·
Definisi Ihdad
Pengertian Ihdad menurut bahasa adalah :
عِبَارَةٌ عَنْ الِامْتِنَاعِ مِنْ الزِّينَةِ[4]
“Ungkapan yang berarti
meninggalkan perhiasan”.
Sedangkan menurut Istilah para
Ulama Ihdad adalah meninggalkan perhiasan dan wangi-wangian di waktu tertentu,
oleh seseorang yang ditinggalkan oleh orang dekat yang dikasihinya karena
kehilangan dan kesedihan yang mendalam.
Dari definisi-definisi diatas
dapatlah kita simpulkan bahwa Iddah dan Ihdad adalah 2 hal yang berbeda dan
tidaklah sama, karena ‘Iddah disebabkan karena adanya ikatan pernikahan,
sedangkan ihdad selain dapat disebabkan karena ikatan pernikahan ia juga dapat
disebabkan karena ikatan kekeluargaan, walaupun pada pembahasan ini nantinya
akan kita temukan kesamaan pada masa ‘Iddah dan Ihdad.
·
Macam-macam ‘Iddah
a.
Iddah bagi perempuan yang belum digauli
Ibnu Rusyd berkata :
فَأَمَّا غَيْرُ
الْمَدْخُولِ بِهَا عدتها : فَلَا عِدَّةَ عَلَيْهَا بِإِجْمَاعٍ[5]
Yang artinya adalah,
bahwa wanita yang belum digauli, tidak ada masa ‘Iddah atas dirinya menurut
Ijma’ para Ulama.
Hal ini berdasarkan
firman Allah SWT dalam Surat Al Ahzab ayat 49:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
“Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian
kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib
atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah
mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.”
b.
Iddah karena cerai mati
Iddah perempuan yang
ditinggal mati oleh suaminya, yaitu ada dua keadaan, yaitu Jika perempuan tersebut hamil, dan dalam
keadaan tidak hamil.
c.
Iddah cerai hidup
Iddah bagi wanita yang
diceraikan oleh suaminya bukan karena kematian dapat dikelompokkan menjadi 3
kelompok
:
-
Dalam keadaan hamil
-
Dalam keadaan dewasa (tidak hamil)
-
Belum dewasa
3.
Pendapat-pendapat Para Ulama
·
Iddah bagi wanita hamil
Para ulama membagi Iddah
bagi wanita hamil kepada 2 bagian :
a.
Wanita hamil yang ditinggal mati suaminya
b.
Wanita hamil yang ditalak, dalam hal ini tidak ada
khilaf antara para ‘ulama, bahwa masa Iddahnya berakhir setelah ia melahirkan.[6]
Para ulama berbeda
pendapat tentang masa Iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati kepada 2
madzhab:
Madzhab pertama : Imam Ali bin Abi Tholib RA dan
sebagian Ulama menyatakan bahwa hendaklah wanita yang sedang hamil melewati
masa Iddah terlama antara ia melahirkan atau menunggu empat bulan 10 hari.
Madzhab kedua : Jumhur Ulama dan Ibnu Hazm
menyatakan bahwa hendaklah ia mengakhiri masa Iddahnya sdetelah ia melahirkan,
baik kelahiran itu lebih pendek ataupun lebih panjang dibandingkan dengan masa
Iddah 4 bulan 10 hari.
Dalil-dalil yang
digunakan oleh madzhab pertama :
A.
Bahwa sesungguhnya firman Allah SWT dala surat
albaqoroh ayat 234 :
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Orang-orang yang meninggal dunia di
antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu)
menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
Dan firman Allah dalam surat at tholaq ayat 4:
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid
lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang
masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula)
perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa
yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam
urusannya.”
Keduanya merupakan ‘am dari satu sisi dan khos dari
sisi yang lain, yang pertama ‘am untuk para wanita yang ditinggal mati suami
mereka baik dalam keadaan hamil maupun tidak, sedangkan yang kedua khusus untuk
yang sedang hamil saja baik karena ditinggal mati suami mereka ataupun tidak,
maka sudah selayaknyalah mengamalkan keduanya, dan tidak menafikan ataupun
mentarjih antara yang satu atas yang lainnya.
B.
Tidaklah boleh memperpendek masa Iddahnya hanya dengan
kelahiran saja, karena sesungguhnya Iddah dalam keadaan hamil disebutkan untuk
wanita yang di talaq saja, bukan untuk para wanita yang ditinggal mati suami
mereka, karena penafsiran surat at tolaq
ayat : 4 ini adalah terusan dari surat at tholaq ayat satu yang berbunyi :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan
isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan
hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.”
dalil-dalil yang
digunakan oleh madzhab ke-dua :
A.
Firman Allah SWT :
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
وجه الاستدلال : إن هذه الآية عامة تتناول كل حامل مطلقة أو متوفى عنها.[7]
Ayat diatas melingkupi stiap wanita
hamil, baik yang ditinggal mati suaminya maupun yang ditalak.
B.
Sabda Rosulullah SAW :
عن المسوربن مخرمة رضي الله عنه انّ سبيعة الأسلمية نفست بعد وفاة زوجها بليال، فجاءت
إلى النبي ص.م. فاستاءذنته أن تنكح فأذن لها، فنكحت [8]
Dari Miswar putera
Makhramah: “Bahwasanya Subai’ah Aslamiyah ra melahirkan setelah suaminya
meninggal dunia beberapa malam, kemudian ia menghadap Rasulullah dan minta izin
untuk kawin, maka Rasulullah mengizinkannya, kemudian ia kawin.” (Hadits
diriwayatkan oleh Imam Bukhari).
·
Iddah bagi wanita yang ditalaq
Madzhab pertama : Apabila seorang wanita di talak oleh
suaminya, baik talak Roj’I maupun talak bain sedangkan ia telah dewasa (haid
aktif) maka Iddahnya adalah 3 kali Haid, sedangkan apabila ia belum haid atau
tidak lagi mengalami haid karena factor usia maka masa Iddahnya adalah 3 bulan,
pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, Ats Tsauri, Al Awza’I, Ibnu Abi
Laila, Ali bin Abi Tholib, Umar bin Khottob, Ibnu Mas’ud, dan Abu Musa Al
Asy’ari RA.[9]
Hal ini sebagaimana
diungkapkan oleh Abdul Ghoni Alhanafi :
إذا طلق الرجل
امرأته طلاقا بائنا أو رجعيا وهي حرة ممن تحيض فعدتها ثلاثة أقراء والأقراء : الحيض
وإن كانت لا تحيض من صغر أو كبر فعدتها ثلاثة أشهر[10]
Madzhab kedua : Apabila seorang wanita di talak oleh
suaminya, baik talak Roj’I maupun talak bain sedangkan ia telah dewasa (haid
aktif) maka Iddahnya adalah 3 kali Suci, sedangkan apabila ia belum haid atau
tidak lagi mengalami haid karena factor usia maka masa Iddahnya adalah 3 bulan,
pendapat ini dikemukakan oleh madzhab Imam Malik, Imam Syafi’I, Jumhur ahlil
madinah, Abdullah bin Umar, Zaid bin Tsabit dan Aisyah RA.[11]
Dalil-dalil madzhab
pertama :
Firman Allah SWT :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيم
“Wanita-wanita yang
ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka
Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman
kepada Allah dan hari akhirat. “
Ayat diatas dengan tegas
menyatakan ثلاثة قروء yang
berarti 3 quru’ secara sempurna, jadi apabila quru’ dalam ayat ini diartikan
sebagai suci, itu berarti penerapan masa Iddah bisa jadi hanya sampai 2 Quru’
dan sebagian saja, hal ini akan menyalahi ayat ini sendiri yang menyatakan
bahwa masa iddah mereka adalah 3 quru’.
Dan juga didalam ayat ini
juga Allah menjelaskan tentang salah satu tujuan dari adanya iddah yaitu
mengetahui keadaan Rahim wanita :
وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ
Dan untuk mengetahui
bahwa sang istri sedang mengandung atau tidak ditetapkan dengan haid, bukan
dengan suci, maka dari itu makna quru’ yang dimaksud dalam ayat ini adalah haid
bukan suci.
Dalil-dalil madzhab
ke-dua :
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ
أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ
يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ
Dari Al Qur’an :
“Wanita-wanita yang
ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka
Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman
kepada Allah dan hari akhirat. “
Dalam ayat ini Allah
menggunakan kataقروء yang, tapi dalam
kebiasaan bangsa arab kataقروء digunakan sebagai bentuk jama’ yang berarti
suci, sedangkan bentuk jama’ yang biasa dipakai untuk haid adalah [12]أقراء.
Dari hadits Rosulullah
SAW :
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ
قَالَ حَدَّثَنِى مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ - رضى الله
عنهما - أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهْىَ حَائِضٌ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ
- صلى الله عليه وسلم - فَسَأَلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله
عليه وسلم - عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « مُرْهُ
فَلْيُرَاجِعْهَا ، ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ، ثُمَّ تَطْهُرَ
، ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ ، فَتِلْكَ
الْعِدَّةُ الَّتِى أَمَرَ اللَّهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ »[13]
Sabda Rosulullah SAW yang
menyatakan فتلك
العدة التي أمر الله أن يطلق لها النساء setelah menjelaskan makna ‘Iddah dalam hadits ini dengan suci
menjadi dalil yang sangat kuat yang menunjukkan bahwa arti Quru’ dalam surat Al
Baqoroh ayat 228 suci bukan haid.
·
Masa Ihdad
Untuk pembahasan tentang masa
ihdad, perbedaan pendapat para ulama hampir sama persis dengan perbedaan
pendapat mereka dalam bahasan tentang masa iddah bagi wanita yang ditinggal
mati suaminya, dan para ulama sepakat tentang tidak adanya Ihdad bagi wanita
yang ditalak raj’i.
Sedangkan bagi wanita
yang ditalak dengan talak bain, para ulama berbeda pendapat kepada 2 kelompok :
Madzhab pertama : ‘Atha`, Rabi’ah, Malik, Al-Laits,
Asy-Syafi’i, dan Ibnul Mundzir rahimahumullah berpendapat tidak ada ihdad
baginya.
Madzhab kedua : Al-Hakam, Abu Hanifah, ulama Kufah, Abu
Tsaur, dan Abu Ubaid rahimahumullah berpendapat ada ihdad bagi istri yang
ditalak tiga.
Perbedaan pendapat ini
didasari atas penafsiran yang berbeda terhadap hadits Rosulullah SAW yang
berbunyi :
لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثٍ ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ
، فَإِنَّهَا تُحِدُّ عَلَيْهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا [14]
“Tidak halal bagi
seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berihdad terhadap
mayat lebih dari tiga hari kecuali bila yang meninggal itu suaminya, maka ia
berihdad selama empat bulan sepuluh hari.”
Madzhab pertama
menyatakan bahwa jelas didalam hadits
diatas dinyatakan bahwa ihdad hanya ada dikarenakan karena wafat yaitu على ميت sebagaimana yang tertera
dalam hadits diatas, dan juga kelompok pertama yang dimotori Imam Syafi’I
Rohimahullah menyatakan :
أَنَّ الْحِدَادَ فِي الْمَنْصُوصِ عَلَيْهِ
إنَّمَا وَجَبَ لِحَقِّ الزَّوْجِ تَأَسُّفًا عَلَى مَا فَاتَهَا مِنْ حُسْنِ الْعِشْرَةِ
وَإِدَامَةِ الصُّحْبَةِ إلَى وَقْتِ الْمَوْتِ وَهَذَا الْمَعْنَى لَمْ يُوجَدْ فِي
الْمُطَلَّقَةِ ؛ لِأَنَّ الزَّوْجَ أَوْحَشَهَا بِالْفُرْقَةِ وَقَطَعَ الْوُصْلَةَ
بِاخْتِيَارٍ وَلَمْ يَمُتْ عَنْهَا فَلَا يَلْزَمُهَا التَّأَسُّفُ[15]
Bahwa sesungguhnya Ihdad
yang disebutkan dalam Nash merupakan
kewajiban yang ada karena kehilangan suami karena kematian, dan
kebaikan-kebaikannya dalam mu’amalah sebagai suami, dan hal ini tidak terdapat
dalam talak, karena dalam talak sang suami telah menjahatinya dan memutusnya
dengan keinginannya sendiri, sehingga tidak ada taassuf dalam hal ini.
Sedangkan madzhab kedua
menyatakan :
أنَّ الْحِدَادَ إنَّمَا وَجَبَ عَلَى الْمُتَوَفَّى
عَنْهَا زَوْجُهَا لِفَوَاتِ النِّكَاحِ الَّذِي هُوَ نِعْمَةٌ فِي الدِّينِ خَاصَّةً
فِي حَقِّهَا لِمَا فِيهِ مِنْ قَضَاءِ شَهْوَتِهَا وَعِفَّتِهَا عَنْ الْحَرَامِ وَصِيَانَةِ
نَفْسِهَا عَنْ الْهَلَاكِ بِدُرُورِ النَّفَقَةِ ، وَقَدْ انْقَطَعَ ذَلِكَ كُلُّهُ
بِالْمَوْتِ فَلَزِمَهَا الْإِحْدَادُ إظْهَارًا لِلْمُصِيبَةِ وَالْحُزْنِ ، وَقَدْ
وُجِدَ هَذَا الْمَعْنَى فِي الْمُطَلَّقَةِ الثَّلَاثِ وَالْمُبَانَةِ فَيَلْزَمُهَا
الْإِحْدَادُ[16]
Sesungguhnya Ihdad memang
diwajibkan karena meninggalnya sang suami yang menyebabkan hilangnya tali
pernikahan yang merupakan ni’mat yang ada dalam agama ini sehingga sang istri
bisa melampiaskan kebutuhan syahwatnya secara halal dan juga menjaganya dari
perkara-perkara yang diharamkan, dan ketiadaan nafkah, dan hal ini semua
terputus dengan meninggalnya sang suami sehingga Ihdad disyariatkan atas
dirinya sebagai wujud untuk mengekspresikan kesedihannya. Akan tetapi perkara
ini juga terdapat pada wanita yang ditalak dengan talak bain, sehingga sudah
seharusnya Ihdad juga disyari’atkan atasnya.
·
Hal-hal yang harus dijauhi di masa Ihdad
Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha berkata:
كُنَّا نُنْهَى أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثٍ إِلاَّ عَلَى
زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا، وَلاَ نَكْتَحِلَ وَلاَ نَطَّيَّبَ وَلاَ نَلْبَسَ
ثَوْبًا مَصْبُوْغًا إِلاَّ ثَوْبَ عَصْبٍ. وَقَدْ رَخَصَ لَنَا عِنْدَ الطُّهْرِ إِذَا
اغْتَسَلَتْ إِحْدَانَا مِنْ مَحِيْضِهَا فِي نُبْذَةٍ مِنْ كُسْتِ أَظْفَارٍ وَكُنَّا نُنْهَى عَنِ اتِّبَاعِ الْجَنَائِزِ[17]
“Kami dilarang berihdad atas mayat
lebih dari tiga hari kecuali bila yang meninggal itu suami maka istrinya
berihdad selama empat bulan sepuluh hari. Selama ihdad itu kami tidak boleh
bercelak, tidak boleh memakai wangi-wangian, dan tidak boleh mengenakan pakaian
yang dicelup kecuali pakaian ‘ashbin. Rasulullah memberikan rukhshah
bagi kami ketika suci dari haid, apabila salah seorang dari kami mandi suci
dari haidnya ia boleh memakai sedikit kust azhfar dan kami dilarang untuk mengiringi jenazah” .
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia
berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا لاَ تَلْبَسُ الْمُعَصْفَرَ مِنَ الثِّيَابِ
وَلاَ الْمُمَشَّقَةَ وَلاَ الْحُلِِّي وَلاَ تَخْضَبُ وَلاَ تَكْتَحِلُ[18]
“Wanita yang ditinggal mati suaminya
tidak boleh mengenakan pakaian yang mu’ashfar dan pakaian yang dicelup
dengan tanah berwarna merah (mumasysyaqah). Tidak boleh pula mengenakan
perhiasan, tidak boleh menyemir rambut (ataupun memacari kuku), dan tidak boleh
bercelak.”
Ibnu Qudamah rahimahullahu
menyebutkan ada tiga macam yang harus dijauhi wanita yang berihdad.
Pertama: Bersolek/menghiasi dirinya
seperti memakai pacar, memakai kosmetik pada wajah, memakai itsmid
(celak).
Kedua: Pakaian perhiasan seperti
pakaian yang dicelup agar menjadi indah misalnya mu’ashfar, muza’far,
celupan berwarna merah, dan seluruh warna yang memperindah pemakainya seperti
biru, hijau, dan kuning.
Ketiga: Perhiasan seluruhnya seperti
cincin dan yang lainnya. Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “‘Atha` rahimahullahu
berkata :
‘Dibolehkan memakai perhiasan dari perak
karena yang dilarang adalah perhiasan dari emas’, tidaklah benar. Karena
larangan yang disebutkan dalam hadits sifatnya umum, dan juga perhiasan akan
menambah kebagusan si wanita dan memberi dorongan untuk menggaulinya.”
Wanita yang berihdad tidak boleh memakai celak,
minyak wangi/wewangian, pakaian yang dicelup kecuali kain ashb, semir,
pacar kuku, pakaian yang dicelup dengan warna merah (mu’ashfar), dan
yang dicelup dengan tanah merah (mumasysyaqah) serta perhiasan.[19]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu menjelaskan
di dalam kitab Majmu’ fatawa tentang keharusan wanita yang berihdad
untuk tidak berhias dan memakai wewangian pada tubuh serta pakaiannya. Ia harus
berdiam dalam rumahnya, tidak boleh keluar di siang hari kecuali ada kebutuhan
dan tidak boleh pula keluar di waktu malam kecuali darurat. Ia tidak boleh
memakai perhiasan, tidak boleh mewarnai rambut dan kukunya dengan inai atau selainnya.
4.
Sebab-sebab perbedaan pendapat para
Ulama
Terjadinya perbedaan
pendapat dikalangan para ulama dalam hal penentuan masa Iddah disebabkan oleh
perkara-perkara sebagai berikut :
a.
Perbedaan pandangan mereka tentang makna dari kata Qur’u,
yang tercantum dalam firman Allah SWT dalam surah Al Baqoroh ayat 228:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيم
“ Wanita-wanita
yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' tidak boleh
mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[20]
Ibnu Rusyd berkata :
وَاخْتَلَفُوا مِنْ هَذِهِ الْآيَةِ فِي
الْأَقْرَاءِ مَا هِيَ ؟ فَقَالَ قَوْمٌ : هِيَ الْأَطْهَارُ ( أَعْنِي : الْأَزْمِنَةَ
الَّتِي بَيْنَ الدَّمَّيْنِ ) . وَقَالَ قَوْمٌ : هِيَ الدَّمُ نَفْسُهُ .[21]
Ada yang mengartikannya dengan “suci” dan ada pula
yang mengartikannya dengan “haid”. Sehingga dengan pengertian yang berbeda itu
dapat mengakibatkan perbedaan pada penetapan lamanya masa beriddah.
b.
Sedangkan dalam hal yang berkaitan dengan wanita yang
hamil yang ditinggal mati oleh suaminya terjadi perbedaan juga karena
penafsiran yang berbeda dikalangan para ulama tentang kandungan surat Ath
Tholaq ayat 4 :
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“ Dan perempuan-perempuan yang tidak
haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu
(tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula)
perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa
yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam
urusannya.”
5.
Munaqosyah dan tarjih
Jumhur ulama menyatakan bahwa mengikutkan firman Allah
SWT
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
على قوله سبحانه :[22]
Kepada firman Nya :
وَاللَّائِي يَئِسْنَ
مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ
ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
adalah tidak pas, Hal ini dikarenakan firman Allah :
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
adalah awal dari khitob sehingga ia mencakup setiap
wanita yang hamil, baik karena talak maupun yang ditinggal mati suaminya.
maka setelah kita memperhatikan dalil-dalil yang
digunakan oleh masing-masing kelompok, jelaslah bagi kita bahwa pendapat jumhur
ulama yang menyatakan bahwa masa Iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati
suaminya berakhir setelah ia melahirkan, hal ini dikarenakan bahwa hadits Subai’ah
al aslamiyyah yang telah disepakati ke sahihannya, dan hadits inilah yang
menjelaskan bahwa firman Allah SWT :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ
Bermakna umum, yaitu bagi wanita yang ditalak
maupun bagi wanita yang ditinggal mati suaminya.
Sedangkan masa Iddah bagi wanita yang ditalak
oleh suaminya, maka masa Iddah yang rojih menurut penulis adalah pendapat Imam
Abu Hanifah, Ats Tsauri, Al Awza’I, Ibnu Abi Laila, Ali bin Abi Tholib RA, Umar
bin Khottob RA, Ibnu Mas’ud RA, dan Abu Musa Al Asy’ari RA yang menyatakan
bahwa makna dari Quru’ adalah haid, bukan suci, hal ini dikarenakan dalil-dalil
yang digunakan kelompok ini lebih kuat dan lebih aman untuk dilaksanakan.
Untuk masa Ihdad, dari dalil-dalil yang telah
dikemukakan diatas, maka penulis menganggap bahwa pendapat ‘Atha`, Rabi’ah,
Malik, Al-Laits, Asy-Syafi’i, dan Ibnul Mundzir rahimahumullah yang menyatakan
bahwa tidak ada ihdad Ihdad bagi wanita yang ditalak dengan talak ba’in adalah pendapat yang rajih.
Wallahu a’lam bish showab.
Daftar Pustaka
Syamil Al Qur’an Terjemah Per-kata.
Abul Husein, Ahmad bin Faris bin
Zakaria, Mu’jam Maqoyisil Lughoh (Darul Fikr, Tahqiq : Abdussalam
Muhammad Harun, 1399 H- 1979 H).
Ad Dimasyqi, Abdul Ghoni Al Ghonimi, Al Lubab
Fi Syarhil Kitab (Beirut : Maktabah Al ‘Ilmiyyah).
Asy Syarbini, Syamsyuddien Muhammad bin Al
Khotib, Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’anil Minhaj (Beirut : Darul
Ma’rifah, 1418 H- 1997 M).
Al Kasani, ‘Alauddien Abu Bakar bin Mas’ud,
Badai’ush Shonai’ fi Tartibisy Syaroi’ (Beirut : Darul Kutubil ‘Ilmiyyah,
cetakan II, 1406 H- 1986 M).
Al Qurthubi, Ibnu Rusyd, Muhammad bin Ahmad bin
Muhammad bin Ahmad, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (Daarul
Ma’rifah, Cetakan ke VI, 1402 H- 1982 M).
Dr. Khuzaemah T Yanggo, Muhadlorot
fil Fiqhil Muqorin, 1998, Jilid 2.
Al Bukhory, Muhammad bin Ismail,
Shohih Al Bukhory, bab. Wa ulatul ahmaal ajaluhunna an yadlo’na hamlahunna,
Jilid. 16, Hal. 261, No. 4909 (maktabah syamilah).
Muslim bin Al Hajjaj, Shohih
Muslim, Bab. Wujubul Ihdad fi
Iddatil wafat, Jilid. 9, Hal. 476 (maktabah
syamilah).
Abu Daud, Sulaiman bin al Asy’ats bin
Syaddad bin ‘Amru, Sunan Abi Daud, bab. Fima tajtanibuhul mu’taddah
fi ‘iddatiha, Jilid, 7, Hal. 75, No. 2306. (maktabah syamilah).
Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Kitab Al-‘Idad, mas’alah
Tajtanibul mar’ah al mutawaffa ‘anha zawjuha ath thiibu wazzinah, Jilid 18, Hal
68. (maktabah syamilah).
[1]
Abul Husein, Ahmad bin Faris bin Zakaria, Mu’jam Maqoyisil Lughoh (Darul
Fikr, Tahqiq : Abdussalam Muhammad Harun, 1399 H- 1979 H) jilid 4, hal 29.
[2]
Ad Dimasyqi, Abdul Ghoni Al Ghonimi, Al Lubab Fi Syarhil Kitab
(Beirut : Maktabah Al ‘Ilmiyyah) Jilid 3, Hal 80
[3]
Asy Syarbini, Syamsyuddien Muhammad bin Al Khotib, Mughnil Muhtaj ila
Ma’rifati Ma’anil Minhaj (Beirut : Darul Ma’rifah, 1418 H- 1997 M)
Jilid 3, Hal 504.
[4]
Al Kasani, ‘Alauddien Abu Bakar bin Mas’ud, Badai’ush Shonai’ fi
Tartibisy Syaroi’ (Beirut : Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, cetakan II,
1406 H- 1986 M)
[5]
Al Qurthubi, Ibnu Rusyd, Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad,
Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (Daarul Ma’rifah, Cetakan
ke VI, 1402 H- 1982 M) jilid II, hal. 89
[6]
Ibid.
[7]
Dr. Khuzaemah T Yanggo, Muhadlorot fil Fiqhil Muqorin, 1998, Jilid 2,
Hal. 66
[8]
Al Bukhory, Muhammad bin Ismail, Shohih Al Bukhory, bab. Wa
ulatut ahamaal ajaluhunna an yadlo’na hamlahunna, Jilid. 16, Hal. 261, No.
4909 (maktabah syamilah)
[9]
Al Qurthubi, Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid… hal 8
[10]
Ad Dimasyqi, Abdul Ghoni Al Ghonimi, Al Lubab Fi Syarhil Kitab… Jilid. 3 , hal. 80
[11]
Al Qurthubi, Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid… hal 8
[12]
Al Qurthubi, Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid… hal 8
[13]
Al Bukhory,…..Bab. ya ayyuhannabiyyu idza thollaqtumunnsaa’ fa
tholliquhunna li’iddatihinna wa ahshul ‘iddah, jilid. 17, Hal. 400
[14]
Al Bukhori,….. Bab. Ihdadul mar’ah ‘ala ghoiri zawjiha, Jilid. 5,
Hal. 150
Lihat juga, Muslim bin Al Hajjaj, Shohih Muslim,
Bab. Wujubul Ihdad fi Iddatil wafat,
Jilid. 9, Hal. 476
[15]
Al Kasani, ‘Alauddien Abu Bakar bin
Mas’ud, Badai’ush Shonai’….
[16]
Ibid.
[17]
Al Bukhory, Muhammad bin Ismail, Shohih Al Bukhory, bab. Aththibu
lilnar’ati ‘inda gosliha minal mahidh, Jilid. 2, Hal. 45, No. 313. Dan
Muslim Bin al Hajjaj, shohih Muslim, bab. Wujubul ihdad fi ‘iddatil
wafat, jilid. 9, Hal. 493, No. 3815 (maktabah syamilahh)
[18]
Abu Daud, Sulaiman bin al Asy’ats bin Syaddad bin ‘Amru, Sunan Abi Daud, bab.
Fima tajtanibuhul mu’taddah fi ‘iddatiha, Jilid, 7, Hal. 75, No. 2306. (maktabah
syamilahh)
[19]
Lihat Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Kitab Al-‘Idad, mas’alah Tajtanibul mar’ah al
mutawaffa ‘anha zawjuha ath thiibu wazzinah, Jilid 18, Hal 68. (maktabah
syamilah).
[20]
Syamil Al Qur’an Terjemah Per-Kata, Surah Al BAqoroh (2) Ayat: 228.
[21]
Al Qurthubi, Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid… hal 8
[22]
Dr. Khuzaemah T Yanggo,…… hal. 66
Tidak ada komentar:
Posting Komentar