Laman

Senin, 14 Mei 2012

KEDUDUKAN QIYAS SEBAGAI DALIL SYAR’I



A.  PENDAHULUAN

Segala puja dan puji hanyalah milik Allah SWT yang telah menjadikan Al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai sumber hukum ajaran Islam yang asasi.
Sholawat beriring salam semoga selalu tercurah kepada Rosulullah SAW, yang dengan perantara beliau kita semua bisa bersatu dalam ikatan ukhuwwah islamiyyah, dan insyaallah dengan sholawat ini kita semua akan mendapatkan syafaatnya di hari kiamat kelak, Amien.
            Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Allah SWT telah menjadikan masholihul ‘ibad sebagai maksud dari penetapan hukum-hukum dalam Islam, dan untuk membimbing kita dalam memahami ini semua Allah SWT telah menurunkan Al-Qur’an dan menetapkannya bersama Sunnah Rosulullah SAW sebagai sumber utama ajaran Islam.

            Akan tetapi, nash-nash yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rosulullah SAW sangatlah terbatas, sedangkan banyak perkara-perkara baru yang bermunculan yang belum mendapatkan penjelasan secara tuntas di dalam Al-Qur’an maupun Sunnah yang harus ditetapkan hukumnya, agar kaum muslimin tidak terjebak dalam keraguan dan ketidak pastian hukum dalam menjalani kehidupan.
            Oleh karena itu, pembahasan tentang qiyas sebagai salah satu dalil syar’I menjadi sangatlah penting, hal ini guna menambah wawasan kita tentang keluwesan dan ke”soleh”an ajaran Islam likulli makanin wa zaman, dan sebagai bukti konkret bahwa memang ajran Islam ini diturunkan sebagai Rohmatan lil’alamin.
            Pada makalah ini, insyaallah penulis akan berusaha sedikit menguraikan tentang kedudukan qiyas sebagai dalil Syar’I, yang tentunya di dalam makalah ini masih terdapat banyak sekali kekurangan, dan sangat jauh dari kesempurnaan, sehingga saran, kritikan dan ide-ide brilian dari para pembacanya sangat dibutuhkan untuk melengkapi makalah yang mutawadhi’ ini.

B. PENGERTIAN QIYAS

            Secara bahasa (etimologi), Qiyas memiliki beberapa arti diantaranya :
·         تقدير شيء على شيء آخر[1]
mengukur sesuatu atas sesuatu yang lain.
·         التقدير  والمساواة[2]
mengukur dan kemudian menyamakannya.
·         تقدير الشيئ على مثال شيئ آخر و تسويته به [3]
Mengukur sesuatu atas sesuatu yang lainnya dan kemudian menyamakannya.
      Oleh karena itulah, dalam konteks pengertian bahasa, Jika seseorang mengukur sesuatu dan kemudian menyamakannya dengan sesuatu yang lain, disebut qiyas.
Sedangkan menurut istilah (terminologi), terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ahli ushul fiqh, di antaranya :
1.        Al-Qadli Abu Bakar al-Baqillani, mendefinisikan qiyas sebagai berikut :
حمل معلوم على معلوم في إثبات حكم لهما أو نفي عنهما بأمر جامع بينهما من إثبات حكم أو نفي عنهما [4]
Memasukkan/menanggungkan sesuatu yang diketahui (far’) kepada sesuatu yang diketahui (ashl)  dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama di antara keduanya.
2.        Sadr al-Syari’ah ibn Mas’ud mendefinisikannya :
تعدية  الحكم من الأصل إلى الفرع بعلة متحدة لا تعرف بمجرد فهم اللغة [5]
Mengenakan hukum dari ashl kepada far’ karena adanya ‘illat yang mempersatukannya yang tidak bisa diketahui melalui pendekatan bahasa (literal) semata.
3.      Abu Zahrah memberikan definisi qiyas sebagai berikut :
إلحاق أمر غير منصوص على حكمه بأمر آخر منصوص على حكمه للاشتراك بينهما في علة الحكم [6]
Menghubungkan suatu perkara yang tidak ada nash tentang hukumnya kepada perkara lain yang ada nash hukumnya karena keduanya berserikat dalam ‘illat hukum.
4.      Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan qiyas sebagai berikut :
إلحاق واقعة لا نص على حكمها بواقعة ورد نص بحكمها في الحكم ورد به النص لتساوي الواقعتين في علة هذاالحكم  [7]
Menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalam ‘illat hukumnya.
5.      Wahbah al-Zuhaili memberikan definsi yang senada yaitu :
إلحاق أمر غير منصوص على حكمه الشرعي بأمر منصوص على حكمه لاشتراكهما في علة الحكم [8]
Dari uraian beberapa definisi tentang qiyas diatas dapatlah kita temukan bahwa setiap definisi tersebut sepakat terhadap hal-hal berikut ini :
§   Terdapat dua perkara yang memiliki ‘illat yang sama.
§   Dari dua perkara tersebut, Satu di antaranya sudah memiliki ketetapan  hukum yang berdasarkan nash (ashl), sedangkan perkara yang satu lagi belum diketahui hukumnya (far’).
§   Berdasarkan ‘illat yang sama itulah, seorang mujtahid menetapkan hukum pada kasus yang tidak ada nashnya itu seperti hukum yang berlaku pada kasus yang hukumnya telah ditetapkan berdasarkan nash.[9]  

C. Qiyas sebagai Dalil Syar’i

            Terdapat 2 pendapat dikalangan para ulama dalam menyikapi penerimaan qiyas sebagai dalil Syar’I, yaitu :
1.        (مثبتوا القياس)[10] atau kelompok yang menetapkan kehujjahan qiyas sebagai dalil syar’I, kelompok ini dimotori oleh jumhur ulama.
2.         (نفاة القياس)[11] atau Kelompok yang menyatakan menolak penggunaan qiyas secara mutlak, kelompok ini dimotori oleh ulama Zhahiriyah dan Syi’ah Imamiyah. Zhahiriyah juga menolak penemuan ‘illat atas suatu hukum dan menganggap tidak perlu mengetahui tujuan ditetapkannya suatu hukum syara’
Dalil-dalil yang dikemukakan jumhur ulama dalam menerima qiyas sebagai dalil syar’i adalah:

1.    Dalil al-Qur’an
Terdapat paling tidak 3 ayat yang paling sering dipakai oleh Jumhur ulama sebagai dalil tentang kehujjahan qiyas, yaitu :
a.      Allah SWT memberi petunjuk bagi penggunaan qiyas dengan cara menyamakan dua hal sebagaimana terdapat dalam surat Yasin ayat 78-79 yang artinya :
“ dan ia membuat perumpamaan bagi kami; dan Dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?"
Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. dan Dia Maha mengetahui tentang segala makhluk”.

Ayat ini  menjelaskan bahwa Allah mengqiyaskan kemampuan-Nya menghidupkan tulang belulang yang telah berserakan di kemudian hari dengan kemampuan-Nya dalam menciptakan tulang belulang pertama kali. Hal ini berarti bahwa Allah menyamakan menghidupkan tulang tersebut kepada penciptaan pertama kali sebagai jawaban dari pertanyaan orang-orang yang mengingkari keberadaan hari kebangkitan.
Kelompok Zhahiriyah menolak argumentasi ini. Mereka berpandangan bahwa maksud ayat tersebut hanyalah sebagaimana arti lahirnya, yaitu : yang sanggup menciptakan sesuatu pertama kali, sanggup pula menghidupkan orang mati.
b.      Allah menyuruh menggunakan qiyas sebagaimana dipahami dari beberapa ayat al-Qur’an, seperti dalam surat al-Hasyr ayat 2 yang artinya:
Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama[1463]. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.

Di dalam ayat ini dengan tegas Allah memerintahkan kepada setiap orang yang berakal untuk mengambil I’tibar dari kejadian yang menimpa bani Nadhir. Kata فاعتبروا merupakan  perintah agar kita mengqiyaskan diri kita kepada mereka, karena kita dan mereka adalah sama-sama manusia sehingga bila kita berbuat seperti apa yang mereka perbuat, maka kita akan mengalami siksaan seperti apa yang telah mereka alami.
Kelompok Zhahiriyah menolak argumentasi jumhur ulama dengan mengatakan bahwa tidak ada peluang sedikitpun bagi qiyas dalam ayat tersebut. Tidak satupun ilmu mengenai bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an yang menjelaskan bahwa i’tibar berarti qiyas. Ayat tersebut memperkenalkan kebesaran dan kekuasaan Allah. Al-Ibrah dalam arti bahasa hanyalah penjelasan tentang sesuatu. Sama sekali tidak ada pengertian untuk menetapkan hukum tentang sesuatu yang tidak ditentukan dalam syari’at dengan hukum pada sesuatu yang disebutkan ketentuannya dalam syari’at.
 
c.       Firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 59 :
“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berselisih paham tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Perintah menaati Allah berarti perintah mengikuti hukum dalam al-qur’an, perintah mengikuti Rasul berarti perintah untuk melaksanakan hukum yang terdapat dalam Sunnah dan perintah menaati ulul amri berarti perintah mengikuti hukum hasil ijma’. Sedangkan kata-kata di akhir ayat yang berbunyi :
Jika kamu berselisih paham tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul”, 
 berarti perintah untuk mengikuti qiyas dalam hal-hal terdapat perbedaan. Ini memberi penjelasan bahwa pengembalian ini berlaku atas perintah Allah dan Rasul. Arti ayat tersebut adalah suruhan untuk menghubungkan kepada al-Qur’an dan Sunnah dengan cara pemikiran mendalam untuk mencari kesamaannya dengan yang ada dalam nash. Kesamaan itu hanya dapat diketahui melalui penggunaan nalar (ra’yu). Argumentasi jumhur ini ditanggapi oleh kelompok Zhahiriyah yang mengatakan bahwa perintah Allah untuk mengembalikan sesuatu kepada Allah ketika beda pendapat yaitu kepada firman-Nya dalam al-Qur’an, Dan mengembalikan sesuatu kepada Nabi yaitu sabdanya dalam Sunnah. Tidak ada perintah untuk mengembalikan sesuatu kepada qiyas. Jelas bahwa selain al-Qur’an dan Sunnah tidak dapat dijadikan rujukan ketika terjadi perbedaan pendapat. Qiyas menurut Zhahiriyah bukan al-Qur’an atau Sunnah, karenanya tidak ada yang dapat dikembalikan kepada qiyas.

2.    Dalil Sunnah

Di antara dalil sunnah yang dikemukakan jumhur ulama sebagai argumentasi bagi penggunaan qiyas adalah :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ « كَيْفَ تَقْضِى إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ ». قَالَ أَقْضِى بِكِتَابِ اللَّهِ. قَالَ « فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى كِتَابِ اللَّهِ ». قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. قَالَ « فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَلاَ فِى كِتَابِ اللَّهِ ». قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِى وَلاَ آلُو. فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَدْرَهُ وَقَالَ « الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِى رَسُولَ اللَّهِ ».[12]

Sesungguhnya Rosulullah SAW ketika beliau hendak mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman beliau bertanya :, “Dengan cara apa engkau menetapkan hukum seandainya kepadamu diajukan sebuah perkara? Mu’adz menjawab : “Saya menetapkan hukum berdasarkan Kitab Allah”. Rasul  bertanya lagi : “Bila engkau tidak menemukan hukumnya dalam Kitab Allah?” Jawab Mu’adz, “Dengan Sunnah Rasul”, Rasul bertanya lagi : “Jika dalam Sunnah juga engkau tidak menemukannya?”, Mu’adz menjawab : Saya akan menggunakan ijtihad dengan nalar (ra’yu) saya. Rasul bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq atas diri  utusan dari Rasulullah dengan apa-apa yang diridhoi Rosul-Nya”.
Hadis tersebut merupakan dalil Sunnah yang kuat, menurut jumhur ulama, tentang kekuatan qiyas sebagai dalil syara’.
Namun hadis ini ditolak oleh Zhahiri, baik dari segi matan maupun dari segi sanad. Menurut Zhahiri dari segi sanad hadis ini dianggap gugur, karena tidak seorangpun yang meriwayatkan hadis ini di luar jalur periwayatan ini. Kelompok ulama Zhahiri juga menilai bahwa hadis tersebut maudhu’ dan jelas kebohongannya, karena mustahil ada hukum yang tidak dijelaskan dalam al-Qur’an. Dari segi artinya, menurut Zhahiri, hadis Mu’adz itu tidak sedikitpun menyebut tentang qiyas dengan cara apapun. Dalam hadis ini hanya disebutkan penggunaan ra’yu; penggunaan ra’yu tidaklah berarti qiyas.

3.      Atsar Shahabi

Adapun argumentasi jumhur ulama berdasarkan atsar sahabat dalam pengakuan qiyas adalah :
a.      Surat Umar ibn Khattab kepada abu Musa al-Asy’ari sewaktu diutus menjadi qadhi di Yaman. Umar berkata :
اقض  بكتاب الله فإن لم تجد فبسنة رسول الله فإن لم تجد فا جتهد رأيك
Putuskanlah hukum berdasarkan kitab Allah. Bila kamu tidak menemukannya maka putuskan berdasarkan Sunnah Rasul. Jika tidak juga kamu peroleh di dalam sunnah, berijtihadlah dengan menggunakan ra’yu.
Pesan Umar ini dilanjutkan dengan :
اعرف الأشباه والنظائر وقس الأمور برأيك [13]
Ketahuilah kesamaan dan keserupaan, dan Qiyaskanlah perkara-perkara tersebut dengan pendapatmu.

Bagian pertama atsar ini menjelaskan suruhan menggunakan ra’yu pada waktu tidak menemukan jawaban dalam al-Qur’an maupun Sunnah, sedangkan bagian akhir atsar ini secara jelas menyuruh mencari titik perbandingan dan kesamaan di antara dua hal dan menggunakan qiyas bila menemukan kesamaan.
Atsar Shahabi ini dibantah oleh ulama Dzahiriyah, dari segi sanad maupun dari segi maksud matannya. Atsar Shahabi berupa surat Umar itu ditolak oleh Zhahiri untuk dijadikan dalil bahwa sahabat Nabi menggunakan qiyas, bahkan banyak ucapan Umar yang menurut merreka justru menolak qiyas.
b.      Para sahabat Nabi banyak menetapkan pendapatnya berdasarkan qiyas. Contoh yang populer adalah kesepakatan sahabat mengangkat Abu Bakar menjadi khalifah pengganti Nabi. Mereka menetapkannya dengan dasar qiyas yaitu karena Abu Bakar pernah ditunjuk Nabi menggantikan beliau menjadi Imam shalat jama’ah sewaktu beliau sakit. Hal ini dijadikan alasan untuk mengangkat Abu Bakar menjadi khalifah. Para sahabat berkata, “Nabi telah menunjuknya menjadi pemimpin urusan agama kita, kenapa kita tidak memilihnya untuk memimpin urusan dunia kita”. Kedudukan Abu Bakar sebagai khalifah diqiyaskan kepada kedudukannya sebagai imam shalat jama’ah. Ternyata argumen ini dipahami sahabat (yang hadir dalam pertemuan itu), sehingga mereka sepakat untuk mengangkat Abu Bakar dengan cara tersebut.
Alur pemikiran ini ditolak oleh Zhahiri dengan mengatakan bahwa penunjukan Abu Bakar oleh Rasul sebagai Imam shalat bukan alasan kuat untuk penunjukannya sebagai khalifah. Jika itu dijadikan alasan, maka niscaya Abu Bakar tidak lebih utama dari Ali menjadi khalifah, karena Ali pun pernah diserahi Rasul menjadi imam shalat di Madinah waktu perang Tabuk yang merupakan perang terakhir bagi Rasul.  Karena itu, menurut Zhahiri mengqiyaskan kasus penggantian tersebut yang berhubungan dengan shalat dan hukum, akan lebih tepat untuk mengqiyaskan penggantian terhadap shalat saja. Seseorang yang diangkat menjadi khalifah sesudah wafat Rasul adalah dalam hal sifat pribadinya yang selalu memperhatikan umat.
Kelompok Zhahiri juga berpendapat bahwa pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah bukan melalui qiyas dengan penunjukan Rasul sebagaimana imam shalat, tetapi karena pada waktu itu Abu Bakar adalah orang yang paling utama di antara para sahabat Rasul. Ketentuan tentang imamah adalah pada kriteria sebagai orang yang paling utama.

D. Rukun Qiyas

Qiyas baru dianggap sah bilamana lengkap rukun-rukunnya. Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa yang menjadi rukun qiyas itu ada empat yaitu :[14]
1.         الأصل (pokok tempat mengqiyaskan sesuatu), yaitu masalah yang telah ditetapkan hukumnya baik dalam al-Qur’an maupun dalam Sunnah Rasulullah.

2.        Adanya hukum ashl yaitu hukum syara’ yang terdapat pada ashl yang hendak ditetapkan pada far’u (cabang) dengan jalan qiyas. Misalnya hukum haram khamar ditetapkan dalam al-Qur’an.
Syarat-syarat hukum ashl, menurut Abu Zahrah antara lain :[15]
a.      Hukum ashl hendaklah berupa hukum syara’ yang berhubungan dengan amal perbuatan karena yang menjadi kajian ushul fiqh adalah hukum yang menyangkut amal perbuatan.
b.      Hukum ashl dapat ditelusuri ‘illat hukumnya. Misalnya hukum haramnya khamar dapat ditelusuri mengapa khamar itu diharamkan yaitu karena memabukkan dan bisa merusak akal pikiran, bukan hukum-hukum yang tidak dapat diketahui ‘illat hukumnya (ghairu ma’qul al-ma’na), seperti masalah bilangan rakaat shalat.
c.       Hukum ashl itu bukan merupakan kekhususan bagi Nabi Muhammad SAW, misalnya kebolehan Rasulullah beristri lebih dari empat orang wanita sekaligus.
3.      Adanya Cabang (far’u) yaitu sesuatu yang tidak ada ketegasan hukumnya dalam al-Qur’an, Sunnah atau ijma’ yang hendak ditemukan hukumnya melalui qiyas, misalnya minuman keras wisky.
4.       ‘Illat ( العلة ), yaitu suatu sifat atau keadaan yang menjadi alasan atau dasar penetapan hukum pada pokok dan ‘illat ini juga terdapat pada cabang (far’u) yang akan dicari hukumnya. Rukun yang satu ini merupakan inti dari praktek qiyas, karena berdasarkan ‘illat itulah hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah dapat dikembangkan.
Menurut bahasa ‘illat berarti sesuatu yang bisa mengubah keadaan, sedangkan menurut istilah, seperti apa yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili : Suatu sifat yang konkrit dan dapat dipastikan keberadaannya pada setiap pelakunya dan menurut sifatnya sejalan dengan tujuan pembentukan suatu hukum yaitu mewujudkan kemaslahatan dengan meraih kemanfaatan dan menolak kemudratan dari umat manusia.[16] 

Syarat-syarat ‘Illat 

Suatu ‘illat dapat diterima atau dijadikan sebagai dasar pijakan dalam penetapan hukum bila telah memenuhi sejumlah persyaratan dan kriteria yang sudah ditentukan, dan ini terkait dengan kepentingan pelaksanaan qiyas dan keabsahan serta eksistensinya sebagai dasar dalam penetapan hukum syara’.
Adapun syarat-syarat ‘illat yang telah disepakati adalah sebagai berikut[17]:

1.      أن تكون وصفا ظاهرا ‘Illat hendaklah merupakan sifat yang jelas.
2.    أن تكون وصفا منضبطا ‘Illat hendaklah merupakan sifat yang pasti dan akurat (washfan mudhabithan)
3.    أن تكون وصفا مناسبا ‘Illat merupakan sifat yang serasi dan ada relevansinya dengan hukum yang ditetapkan (washfan munasiban)
4.    أن لا تكون وصفا قاصرا على الأصل  ‘Illat bukan hanya sifat yang dapat berlaku pada pokok tetapi juga dapat diberlakukan pada cabang.


Cara Mengetahui ‘Illat (Masalik al-‘Illat)

Masalik al-‘illat adalah cara atau metode untuk mengetahui ‘illat dalam suatu hukum atau hal-hal yang memberi petunjuk kepada kita adanya ‘illat dalam suatu hukum. Ada beberapa cara untuk mengetahui ‘illat,  Ada petunjuk yang jelas dan ada yang kurang jelas, ada yang langsung dan ada yang tidak langsung. Masalik al-‘illat adalah sebagai berikut :
1.             Nash
Penetapan nash sebagai salah satu cara dalam menetapkan ‘illat, namun tidaklah berarti bahwa ‘illat itu langsung disebut dalam nash, tetapi dalam lafaz-lafaz yang digunakan dalam nash dapat dipahami adanya ‘illat. Lafaz-lafaz nash yang memberi petunjuk terhadap ‘illat itu ada dua macam :
a.             Nash sharih ( نص صريح ), yaitu lafaz-lafaz dalam nash yang secara jelas memberi petunjuk mengenai ‘illat dan tidak ada kemungkinan selain itu.
b.             Nash Isyaroh  dan Tanbih ( النص إيماء أو إشارة و تنبيها ) yaitu lafaz-lafaz yang secara Isyarat digunakan untuk menunjukkan ‘illat.

2.             Ijma’
Ijma’ sebagai salah satu masalik berarti ijma’ itu menjelaskan ‘illat dalam hukum yang disebutkan pada suatu nash. Contoh : Hadis tentang larangan seseorang menghakimi orang dalam keadaan marah. Ijma’ menetapkan bahwa ‘illat tidak sahnya hakim menghadapi perkara dalam keadaan marah, adalah “marah” karena dapat mengganggu pikiran.
3.             As-Sabru wat Taqsim
As-Sabru wat taqsim ( السبر و التقسيم  ) secara harfiah berarti memperhitungkan dan mengelompokkan. Yang dimaksud di sini adalah meneliti kemungkinan sifat yang terdapat dalam ashal, kemudian mengelompokkan sifat-sifat yang ada dan mengujinya satu persatu untuk menjadi ‘illat, kemudian menyingkirkan sifat-sifat yang tidak pantas menjadi ‘illat setelah pengujian sehingga tertinggallah satu sifat yang menjadi ‘illat untuk hukum ashal tersebut.

E.  PEMBAGIAN QIYAS

Apabila kita membagi qiyas dari segi kekuatan ‘illat yang terdapat pada furu’, dibandingkan pada ‘illat yang terdapat pada ashl. Maka Dalam hal ini qiyas dapa dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :[18]
a.      Qiyas Awlawi ( قياس اولوي  ), yaitu bahwa ‘illat yang terdapat pada far’u (cabang) lebih utama daripada ‘illat yang terdapat pada ashl (pokok). Misalnya mengqiyaskan hukum haram memukul kedua orang tua kepada hukum haram mengatakan “ah  yang terdapat dalam surat al-Isra’ ayat 23.
Karena alasan (‘illat) sam-sama menyakiti orang tua. Namun, tindakan memukul dalam hal ini cabang (far’u) lebih menyakiti orang tua sehingga hukumnya lebih berat dibandingkan dengan haram mengatakan “ah” pada ashl.
b.      Qiyas Musawi (  قياس مساوي  ) yaitu qiyas di mana illat yang terdapat pada cabang (far’u) sama bobotnya dengan bobot ‘illat yang terdapat pada ashl (pokok). Misalnya ‘illat hukum haram membakar harta anak yatim yang dalam hal ini adalah cabang sama bobot ‘illat haramnya dengan tindakan memakan harta anak yatim. Karena tindakan tersebut sama-sama melenyapkan harta anak yatim.
c.       Qiyas al-Adna  ( قياس الأدنى  ), yaitu qiyas di mana ‘illat yang terdapat pada furu’ (cabang) lebih rendah bobotnya dibandingkan dengan ‘illat yang terdapat pada ashl (pokok). Misalnya, Mengqiyaskan apel kepada gandum dalam menetapkan berlakunya riba fadhal bila dipertukarkan dengan barang sejenis. ‘Illatnya adalah bahwa ia adalah makanan. Memberlakukan hukum riba pada apel lebih rendah daripada berlakunya hukum riba pada gandum karena ‘illatnya lebih kuat.

KESIMPULAN

Dari uraian singkat tentang qiyas yang ada dalam makalah yang mutawadi’ ini dapatlah kita simpulkan bahwa :
1.        Al-Qiyas adalah salah satu dalil syar’i dan juga merupakan salah satu metode ijtihad   yang berperan efektif dalam mengungkapkan hukum dari sumber utamanya (al-Qur’an dan Sunnah).
2.        Untuk menerapkan qiyas haruslah terpenuhi empat rukun, yaitu : ashl (pokok), hukum ashl, far’ (cabang), dan ‘illat.
3.        Qiyas merupakan metode yang sangat dibutuhkan untuk menjawab segala perkembangan zaman yang selalu memunculkan perkara-perkara baru yang hukumnya belum ditetapkan di dalam Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’.

PENUTUP
Demikianlah makalah ini penulis buat, dengan harapan bisa bermanfaat bagi penulis pada khususnya, dan seluruh pembaca pada umumnya, serta menjadi pemberat timbangan kebaikan bagi kita semua di hari perhitungan kelak.
Amien, Allahumma amien…




DAFTAR PUSTAKA

Alyasa Abubakar, Teori ‘Illat dan Penalaran Ta’lili, dalam Tjun Suryaman (Edit), Hukum Islam Indonesia : Pemikiran dan Praktek, (Bandung: PT Remaja Rosada Karya, 1991).

Zaki al-Din Sya’ban, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Mesir: Dar al-Ta’lif, 1965).

Musthafa Said al-Khin, ‘Asr al-Ikhtilaf fi Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha, (Kairo: Muassasat al-Risalah, 1969).
           
            Umar Abdullah, Sullam al-Wushul li ‘ilmi al-Ushul, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1956).
Al-Syaukani, Muhammad Ibn Ali Muhammad, Irsyad al-Fuhul, (Mesir: Dar al-Fikr).

Abd. al-Wahab Khallaf, Mashadir al-Tasyri’ fi Ma la Nassa Fih, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1972).

Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi).

            Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo: Dar al-Qalam, 1978).
Wahbah al-Zuhaili, Al-Wasit fi Usul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: al-Mathba’ah al-ilmiyah, 1969).

Amir Syarifuddin,Prof.Dr.H., Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), cet. Ke-4.

Abu Dawud, Sulaiman bin Al Asy ‘Ats Al Azady As Sajestany, Sunan Abi Dawud (Cairo : Darul Hadits) Jilid 10.

Fakhruddien, Muhammad bin Umar bin Al Husein Ar Razi, Al Mahshul fi ‘Ilmil Ushul (Muassasah Ar Risalah, Dirosah wa Tahqiq DR. Thoha Jabir Fayyadh Al ‘alwani) jilid 5.

Satria Effendi, M. Zein, Prof.Dr.H., MA, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2005), cet.ke-2.


[1] Zaki al-Din Sya’ban, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Mesir: Dar al-Ta’lif, 1965), h.108.
[2] Musthafa Said al-Khin, ‘Asr al-Ikhtilaf fi Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha, (Kairo: Muassasat al-Risalah, 1969), h.468
[3] Umar Abdullah, Sullam al-Wushul li ‘ilmi al-Ushul, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1956), h.205
[4] Al-Syaukani, Muhammad Ibn Ali Muhammad, Irsyad al-Fuhul, (Mesir: Dar al-Fikr, tt), h.198
[5] Abd. al-Wahab Khallaf, Mashadir al-Tasyri’ fi Ma la Nassa Fih, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1972), h.21-23
[6] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.), h. 218
[7] Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo: Dar al-Qalam, 1978), h. 52
[8] Wahbah al-Zuhaili, Al-Wasit fi Usul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: al-Mathba’ah al-ilmiyah, 1969), h.367
[9] Amir Syarifuddin,Prof.Dr.H., Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), cet. Ke-4, h.173-177
[10] Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo: Dar al-Qalam, 1978), h. 54
[11] Ibid.
[12] Abu Dawud, Sulaiman bin Al Asy ‘Ats Al Azady As Sajestany, Sunan Abi Dawud (Cairo : Darul Hadits) Jilid 10, Hal. 463
[13] Fakhruddien, Muhammad bin Umar bin Al Husein Ar Razi, Al Mahshul fi ‘Ilmil Ushul (Muassasah Ar Risalah, Dirosah wa Tahqiq DR. Thoha Jabir Fayyadh Al ‘alwani) jilid 5, hal. 54
[14] Lihat Abd. Wahab Khallaf, ‘Ilmu Ushul Fiqh, op. cit., h. 60-63, Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, op. cit., h.227-229
[15] Abu Zahrah, Ushul Fiqh, op. cit. , h. 232-235
[16] Dikutip dari Satria Effendi, M. Zein, Prof.Dr.H., MA, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2005), cet.ke-2, h.135
[17] Lihat Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, op. cit., h. 68-70
[18] Lihat Wahbah Zuahili, al-Wasit fi Ushul al-Fiqh, (Damaskus: al-Matba’ah al-Islamiyah, 1969), cet.ke2, sebagaimana dikutip dalam Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, op. cit., h.140-142

2 komentar: