Laman

Kamis, 10 Mei 2012

Al Imam Ar Razi dan Pemikirannya dalam Ushulul Fiqh


A.    Pendahuluan
Segala puji hanyalah milik Allah SWT.., Sholawat beriring salam semoga selalu tercurah kepada baginda Rosulullah Muhammad SAW., para kerabatnya, Sahabat-sahabatnya, dan siapapun pengikutnya yang tetap Istiqomah mengikuti ajaran-ajarannya.
Mengenal, mengetahui, memahami serta menjalankan segala perintah Allah SWT.., dan sunnah-sunnah Rosulullah SAW. sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim, agar mereka tetap berada di jalur yang benar menuju ridho Ilahi.
Oleh karena itu diperlukan pengetahuan yang benar pula untuk memahami nash-nash yang ada secara benar, dan salah satu cara memahami ayat-ayat Allah SWT.. dan sunnah-sunnah Rosulullah SAW. secara benar adalah dengan mempelajari, memahami, serta mendalami Ilmu Ushulul Fiqh secara benar.
Pemahaman tentang Ilmu Ushulul Fiqh secara baik dan benar akan mengantarkan seseorang untuk mengerti hukum-hukum Allah SWT.. secara teliti dan mendalam, hal ini dikarenakan Ilmu Ushulul Fiqh mengoptimalkan fungsi akal dan Naql secara berimbang dan bersamaan, sehingga menghindarkan kita dari mengikuti hawa nafsu dalam penetapan hukum yang bertentangan dengan syria’at, dan menjauhkan kita dari Taqlid buta yang tidak sejalan dengan akal sehat.
Oleh karena itulah, sudah selayaknya bagi kita untuk mempelajari Ilmu ini secara lebih mendalam lagi, mengenal tokoh-tokoh Ulama terkemuka dalam cabang Ilmu ini, mengkaji serta menelaah sumbangsih pemikiran-pemikiran mereka dalam Ilmu Ushulul Fiqh, sehingga pada akhirnya nanti kita bisa mengambil ‘Ibroh dan manfaat yang tersirat maupun tersurat dari profil dan perjalan hidup mereka secara pribadi ataupun dari karya-karya mereka yang ada disekitar kita hingga saat ini.
Pada makalah ini, saya akan mencoba untuk mengkaji tentang sosok Imam Fakhruddien Ar Razi dan pemikiran-pemikirannya dalam bidang Ilmu Ushulul Fiqh sebagaimana tersurat dalam salah satu karya beliau yang fenomenal yaitu kitab Al Mahshul, yang mengumpulkan pokok-pokok bahasan Ilmu Ushulul Fiqh yang tercantum dalam 4 kitab fenomenal sebelumnya yaitu kitab Al Burhan karya Imam Al Juwaini, Al Mustashfa karya Imam Al Ghozali, Al Mu’tamid karya Abul Husein Al Bashri, dan Al ‘Ahd karya Al Qodhi Abdul Jabbar Al Hamadani.[1]


B.     Profil Imam Fakhruddien Ar Razi
Muhammad bin Umar bin Husain bin Hasan bin Ali at-Taimi al-nakri at-Thabari ar-Razi at-Thabarstani al-Qurasyi al-Faqih as-Syafi’i yang lebih dikenal dengan gelar Fakhruddien ar-Razi, beliau termasuk keturunan seorang sahabat yang sangat terkenal yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq Rodhiyallahu ‘anhu.[2] Dia lahir di Rayy[3] yang lokasinya sekarang dekat dengan Teheran. Fakhruddien lahir pada bulan Ramadhan 544 H[4] bertepatan dengan tahun 1149 M. Fakhruddien ar-Razi mempunyai beberapa nama panggilan seperti Abu Abdullah, Abul Ma’ali, dan Ibnu Al Khatib ar-Rayy.
 Disebabkan pengetahuaannya yang luas, maka Muhammad Ibnu Umar ar-Razi mendapat berbagai gelar seperti: Khatib ar-Rayy, al-Imam, Fakhruddien dan Syaikh Islam. Dia mendapat julukan Khatib ar-Rayy karena dia adalah ulama terkemuka Rayy. Dia dijuluki Imam karena menguasai ushul fiqih dan syariat. Dia juga disebut Fakhruddien ar-Razi karena penguasaannya yang sangat mendalam tentang berbagai disiplin kelimuan yang menyebabkannya berbeda dengan para tokoh pemikir dari Rayy. Dia juga dipanggil sebagai Syaikhul Islam di Herat karena penguasaaan keilmuannya yang tinggi.[5]
Mazhab fiqih yang ia pelajari berasal dari ayahnya Dhiyauddien Umar dan ayahnya belajar dari Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Farral al-Baghawi dari al-Qadhi Husain al-Maruzi dari al-Qafal al-Maruzi dari Abi Zaid al-Maruzi dari Abu Ishaq al-Maruzi dari Abul Abbas bin Suraij (Ahmad bin Umar)  dari Abu Qasim al-Anmathi dari Ibrahim al-Muzani dari Imam Syafi’i.[6]
Fakhruddien ar-Razi sangat terkenal dikalangan kaum muslimin sebagai seorang mufassir, hal ini berkaitan erat dengan karya-karya beliau yang berkaitan dengan al-Quran. Beliau menulis Mafatih al-Ghaib sebanyak 12 jilid besar, Buku tafsir ini ditulis kurang lebih selama 8 tahun, yaitu dari tahun 595-603 M, Asrar at-Tanzil wa Anwar at-Ta’wil, Tafsir surat Fatihah, Tafsir surat al-Baqarah, at-Tanbih ala ba’dh al-Asrar al-Mau’idhah fi ba’dhi ayat al-Quran, Asas Taqdis, Nihayat al-I’jaz fi Dirayatil I’jaz, Ismatul Anbiya’.
Selain sebagai seorang Mufasir, Fakhruddien juga seorang pakar syariah. Ini Nampak bukan saja dari tulisan-tulisanya dalam bidang fiqih dan ushul fiqih, namun juga dari berbagai perdebatannya dengan ahli-ahli fiqih yang lain. Di antara tulisan-tulisan Fakhruddien dalam masalah fiqih dan ushul fiqih seperti Ihkamul Ahkam, Sharh Wajiz fil Fiqh, dan al-Mahshul fi Ilmil Ushul.[7]
Fakhruddien adalah seorang penulis yang produktif, ia banyak membahas berbagai persoalan dengan mendalam. Ia menulis sastra arab, kedokteran dan perbandingan agama, di antara karyanya dalam sastra arab seperti: Nihayatul Ijaz fi Dirayat al-‘Ijaz, Sarh Saqt al-Zand Li Abil al-Ma’ari dan al-Muharar fi Haqaiq an-Nahwu. Karyanya dalam bidang kedokteran seperti Syarah al-Qanun, at-Tibb al-Kabir dan Masail Fit Thibb.
Keadaan Masyarakat pada Masa Fakhruddien ar-Razi
Fakhruddien ar-Razi hidup pada pertengahan abad keenam Hijriyah, pada masa itu umat Islam sedang mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam hal politik, masyarakat, ilmiah dan keyakinan. Daulah Abbasiyah ketika itu sedang mengalami kegoncangan, terjadi perang salib di daerah Syam dan terjadi perang Tartar didaerah sebelah timur.[8]
Ketika masa itu banyak terjadi perselisihan madzhab dan aqidah, dan di daerah Rayy saja terdapat banyak sekali kelompok-kelompok dan madzhab-madzhab fiqih yang berkembang diantaranya : Syafi’iyah, malikiyah dan lain sebagainya, selain madzhab-madzhab fiqih diatas terdapat pula madzhab-madzhab Aqidah seperti mu’tazilah, Syi’ah, Murjiah, Bathiniyah dan al-Karrasiyah. Oleh karena itulah Rayy juga sangat terkenal sebagai sebuah kota yang menjadi medan yang luas sebagai tempat bertemunya banyak sekali pemikiran-pemikiran yang berkembang dalam dunia islam saat itu, ditambah lagi dengan perkembangan dari cabang-cabang ilmu lainnya yang berakembang secara menakjubkan.[9]
Perantauan Intelektual
Banyak faktor yang membentuk Fakhruddien ar-Razi menjadi seorang ulama yang berwibawa. Selain memang memiliki keilmuan, ia mendapat pendidikan awal dari kedua orang tuanya, guru-gurunya dan dukungan dari para penguasa. Pengalaman dalan perantauan termasuk factor utama dalam membentuk kepribadian Fakhruddien ar-Razi. Setelah ayahnya, sekaligus guru pertamanya meninggal pada tahun 559 H, Fakhruddien ar-Razi yang saat itu berusia 15 tahun sudah merantau ke berbagai daerah. Dia pertama kali merantau ke Simman dan mendalami fiqih kepada seorang pakar dalam fiqih yaitu al-Kamal as-Samnani. Dia kemudian kembali lagi ke Rayy dan berguru kepada Majdudien al-Jili salah satu sahabat dari Muhammad bin Yahya dalam masalah ilmu kalam dan hikmah. Ketika al-jili pindah ke Maraghah untuk mengajar, Fakhruddien ikut menemani perjalanan gurunya. Dan diriwayatkan juga bahwa beliau telah menghafal kitab Asy Syamil karya Imamul haromain didalam ilmu kalam.[10]
Untuk meluaskan wawasannya, Fakhruddien merantau ke berbagai daerah lainnya, ia merantau ke Khawarizm[11] dan berdebat dengan tokoh-tokoh Mu’tazilah yang saat itu sangat berpengaruh di Khawarizm, selain berdebat dengan tokoh-tokoh Mu’tazilah, Fakhruddiien ar-Razi juga berdebat dengan para pendeta Kristen. Dalam perdebatan tersebut, dia menujukkan berbagai kesalahan mendasar dalam dogma-dogma Kristen serta mempertahankan kemurnian Islam, dari perdebatan ini ia mengarang sebuah kitab yang berjudul Munazarah fi ar-Rad ala an-Nashara.
Pada tahun 508 H, Fakhruddien yang pada saat itu sudah berusia 35 tahun, merantau lagi ke Transoxiana dan menetap kurang lebih dua tahun. Kini Transoxiana adalah pecahan dari wilayah Uni Soviet yang meliputi Khazakastan, Samarkand dan Uzbekistan. Kemudian beliau melanjutkan perantauannya ke Sarkhes, Di Sarkhes ia bertemu dengan Abdurrhman bin Abdulkarim as-Sarkhosi, seorang dokter, dalam pertemuan tersebut, Fakhruddien yang juga sudah mengetahui tentang ilmu kedokteran menjelaskan kepada Abdurrahman tentang kitab al-Qanun. Dari Sarkhes, Fakhruddien menuju Bukhara, selanjutnya ke Samarkand, Khujand, Banakit, Ghaznah dan India.
Dari Samarkand, Fakhruddien bekunjung ke Ghaznah, disana ia mendapat perlindungan dari raja Ghaznah, Shihabuddien al-Ghuridan saudaranya Ghiyatuddien. Fakhruddien berhasil mengubah Ghiyatuddien yang meyakini karamiyah kepada Ahlus Sunnah, karena hal ini pengikut Karamiyah sangat marah kepadanya. Selain itu, pengikut Karamiyah juga marah kepada Fakhruddien karena dia mengkritik tokoh mereka, Ibnu Qudwah di depan public. Amiruddien, sepupu Ghiyatuddien menolong Ibnu Qudwah dan mengusir Fakhruddien dari Ghur.
Perantauan Fakhruddien ar-Razi berakhir di Herat. Di Herat dia mendapat perlindungan dari Sultan Khurasan Ali ad-Din Khawarazamshah Tukush, ia menjadi pengajar anak sultan yang mewarisi tahta tahun 596 H.
 Acara-acara Fakhruddien ar-Razi di kota Herat di hadiri oleh banyak cendekiawan dan tokoh. Mereka bertanya mengenai berbagai persoalan dan mendengar darinya jawaban-jawaban spektakuler. Disebabkan usahanya banyak dari kalangan Karamiyah dan kalangan yang lain kembali ke Ahlus Sunnah. Di Herat Fakhruddien diberi gelar Syaikhul Islam. Ia menetap di Herat sampai akhir hayatnya, ia meninggal di desa Mudhakhan, Herat pada tahun 606 H pada usia 62 tahun.[12]

C.    Fakhruddin Ar Razi dan pemikirannya dalam Ushulul Fiqh
Selain terkenal sebagai seorang mufassir yang handal, Fakhruddien Ar Razi juga sangatlah handal dan mumpuni dalam penguasaan Ilmu Ushulul Fiqh, hal ini dibuktikan dengan karya beliau yang sangat istimewa dan sensasional dalam Ushulul Fiqh yakni kitab Al Mahshul yang terdiri dari 6 jilid besar.[13] Fakhruddien ar-Razi meiliki keilmuan yang tinggi dalam masalah fiqih dan ushulnya karena memang sejak muda ia telah berhasil menguasai literatur-literatur utama yang dijadikan standar dalam ushul fiqih seperti: al-Burhan karya Imam al-Haramain al-Juwaini, al-‘Ahd karya Qadhi Abdul Jabar, Musthashfa karya Imam Ghazali, al-Mu’tamid karya Abu Husain al-Bashri, dan dari keempat literatur utama dalam ilmu Ushulul Fiqh diatas ada 2 buku yang sangat beliau kuasai dan hafal secara terperinci yaitu kitab Musthashfa karya Imam Ghazali, al-Mu’tamid karya Abu Husain al-Bashri.[14]
Untuk lebih mengenal sumbangsih pemikiran beliau dalam Ushulul Fiqh, berikut pandangan-pandangan beliau dalam berbagai hal yang berkaitan langsung dengan Ushulul Fiqh :
1.      Beliau lebih mengedepankan Istidlal dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa dibandingkan dengan hadits-hadits ahad dalam penetapan hukum, hal ini tergambar jelas dalam ungkapan beliau ketika beliau mengkritik para ulama Ushul dan berkata :

والعجب من الأصوليين أنهم أقاموا الدلالة على أن خبر الواحد حجة في الشرع ولم يقيموا الدلالة على ذلك في اللغة وكان هذا أولى لأن اثبات اللغة كالأصل للتمسك بخبر الواحد وبتقدير أن يقيموا الدلالة على ذلك فكان من الواجب عليهم أن يبحثوا عن أحوال رواة اللغاة وإن والنحو وأن يتفحصوا عن اسباب جرحهم وتعديلهم كما فعلوا ذلك في رواة الأخبار لكنهم تركوا ذلك بالكلية مع شدة الحاجة إليه فإن اللغة والنحو يجريان مجرى الأصل للاستدلال بالنصوص[15]
“ Suatu sikap yang aneh yang terjadi pada para ulama ushul : mereka menjadikan khabar ahad sebagai dalil untuk menentukan suatu hukum, tetapi tidak melakukan hal yang sama pada bahasa, padahal penetapan hukum berdasarkan bahasa adalah lebih utama, maka dari itulah sudah menjadi kewajiban atas mereka untuk membahas keadaan ulama bahasa dan Nahwu, meneliti sebab-sebab jarh dan ta’dil atas mereka, sebagaimana yang telah mereka lakukan terhadap para perawi hadits, tetapi mereka meninggalkan perkara yang sangat penting dan dibutuhkan ummat ini, padahal lughoh atau bahasa dan nahwu berkedudukan sebagai sumber asal untuk beristidlal terhadap nash-nash yang ada.

2.      Pendapat beliau tentang nasikh dan mansukh
Imam Fakhruddien Ar Razi berpendapat bahwa :
نسخ الكتاب بالسنة المتواترة جائز وواقع [16]
“Penasakhan Al Kitab ( Al Qur’an ) melalui sunnah mutawatiroh adalah jaiz atau boleh dan hal itu benar-benar terjadi”.
Hal ini bertentangan dengan pendapat Imam Syafi’I dalam kitabnya Ar Risalah, ketika beliau berkata:
وأنزل عليهم الكتاب تِبْياناً لكل شيء وهُدًى ورحمةً وفرض فيه فرائض أثبتها وأُخْرَى نسَخَها رحمةً لِخَلْقه بالتخفيف عنهم وبالتوسعة عليهم زيادة فيما ابتدأهم به مِن نِعَمه . وأثابَهم على الانتهاء إلى ما أثبت عليهم : جَنَّتَه والنجاة من عذابه فعَمَّتْهم رحمتُه فيما أثبت ونسخ فله الحمد على نعمه
 وأبان الله لهم أنه إنما نسخ ما نسخ من الكتاب بالكتاب وأن السنةَ لا ناسخةٌ للكتاب وإنما هي تَبَع للكتاب يُمَثِّلُ ما نَزل نصاً ومفسِّرةٌ معنى ما أنزل الله منه جُمَلاً[17]
Dan Allah telah menurunkan atas mereka Al Kitab (Al Qur’an) sebagai penerang untuk segala sesuatu, petunjuk dan juga rahmat, dan Allah juga telah mewajibkan didalam Al Qur’an itu berbagai kewajiban kemudian menetapkan hukum sebagiannya serta menghapuskan (menasakh) sebagian yang lainnya sebagai rahmat bagi hamba-Nya dengan memberikan kemudahan-kemudahan dan keluasan-keluasan bagi mereka sekaligus sebagai tambahan nikmat yang Allah curahkan bagi mereka atas nikmat-nikmat yang telah Allah berikan sejak awal pada mereka, yang pada Akhirnya Allah akan memberikan balasan pada mereka dengan menetapkan surga-Nya bagi mereka dan keselamatan dari adzab-Nya sehingga tersebarlah rahmat-Nya atas makhluk-Nya dari setiap ketetapan dan penasakhan, segala puji hanya milik Allah atas segala nikmat-Nya.
Dan kemudian Allah menjelaskan pada mereka bahwa Allah tidak akan menasakh Al Kitab (Al Qur’an) kecuali dengan Al Kitab pula dan Sunnah tidak bisa menasakh Al Qur’an, karena sesungguhnya kedudukan sunnah dalam hal ini hanyalah sebagai penguat nash-nash yang ada dalam Al Qur’an dan penjelas makna-makna yang terkandung dalam nash Al Qur’an apabila diturunkan secara mujmal”.
Dalam hal ini Imam Syafi’I menggunakan firman Allah swt. :
مَا نَنْسَخْ مِنْ آَيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ [18]
“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”
فأخبر الله أنَّ نسْخَ القُرَآن وتأخيرَ إنْزالِه لا يكون إلا بِقُرَآن مثلِه[19]
Di dalam ayat ini Allah swt. Menyatakan bahwa nasakh Al Qur’an dan penta’khiran penurunannya tidak dapat terjadi kecuali dengan Al Qur’an pula.
Pendapat ini dibantah oleh Imam Ar Razi seraya beliau menyatakan bahwa ayat 106 surah Al Baqoroh diatas tidaklah mewajibkan penasakhan ayat dengan ayat, akan tetapi penaskhan hukum yang telah ada dengan hukum yang lebih baik dan relevan, dan juga bahwa sunnah Rosulullah saw. yang mutawatir juga bersumber dari Allah swt. sehingga kedudukannya juga setingkat dengan Al Qur’an sebagai sumber hukum yang wajib diyakini oleh setiap muslim.
Dan beliaupun memperkuat pendapat beliau dengan memberikan contoh yang telah terjadi mengenai penaskhan hukum yang terdapat di dalam Al Qur’an dengan hadis mutawatir, sebagaimana hadis Rosulullah saw. لا وصية لوارث menasakh hukum wasiat untuk para kerabat الوصية للأقربين.
3.      Pendapat beliau tentang Ijma’

·                Kemungkinan terjadinya Ijma’
Dalam kemungkinan terjadinya Ijma’ beliau berpendapat bahwa Ijma’ tidak mungkin dapat dilakukan kecuali pada masa para sahabat[20], hal ini bertentangan dengan pendapat sebagian Ulama syi’ah dan Nazhzhomiyah yang menyatakan bahwa dengan melihat segala rukun Ijma’ yang telah ditetapkan , maka Ijma’ sangatlah mustahil untuk dilakukan.[21]
Sedangkan Jumhur Ulama berpendapat bahwa Ijma’ masih mungkin saja terjadi sampai saat ini.[22]
·                Apabila Sahabat sepakat kepada 2 pendapat dari 3 pendapat yang ada dalam satu masalah, apakah boleh Ulama yang datang dikemudian hari untuk mengemukakan pendapat ke-3 ?
Dalam hal ini Imam Fakhruddien Ar Rozi berpendapat bahwa mengemukakan pendapat ke-3 boleh-boleh saja.[23]
Hal ini bertentangan dengan pendapat Imam Al Juwaini yang menyatakan bahwa kesepakatan para ulama untuk memilih 2 pendapat dari 3 pendapat yang ada adalah Ijma’ mereka untuk hanya memilih 2 pendapat itu saja, sehingga tidak boleh kita mengambil dan mengemukakan pendapat yang ke-3.[24]
4.      Pendapat beliau tentang Qiyas
Terdapat tuduhan yang tidak beralasan yang di alamatkan kepada Fakhruddien Ar Razi dalam hal yang berkaitan dengan pandangan beliau tentang Qiyas, mereka menyatakan bahwa Fakhruddien Ar Razi termasuk ke dalam golongan nufatul qiyas atau orang-orang yang menolak qiyas sebagai salah satu sumber hukum dalam islam, hal ini karena ketidak fahaman mereka tentang tafsir surah Asy Syuro ayat 10 :[25]
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, Maka putusannya (terserah) kepada Allah. (yang mempunyai sifat-sifat demikian) Itulah Allah Tuhanku. kepada-Nya lah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.
Mereka menuduh Fakhruddien Ar Razi tanpa mau membaca kitab Al Mahshul fi ‘Ilmil Ushul yang beliau tulis, andai saja mereka mau membaca kitab ini, tentu tuduhan ini takkan pernah terjadi, karena Fakhruddien Ar Razi menjelaskan secara rinci segala hal yang berkaitan dengan Qiyas, beliau mengemukakan madzhab-madzhab para ulama, menjelaskan hujjah masing-masing madzhab secara detail, kemudian secara tegas menyatakan posisi dan pendapat beliau mengenai Qiyas seraya berkata :
" والذي نذهب إليه وهو قول الجمهور من علماء الصحابة والتابعين: أن القياس حجة في الشرع "[26]
Yang artinya : “ Dan kami berpendapat sama seperti pendapat Jumhur Ulama dari para sahabat dan Tabi’in bahwa Qiyas adalah hujjah dalam Syari’ah.”

5.      Pendapat beliau tentang Istihsan
Berkaitan dengan Istidlal menggunakan Istihsan Fakhruddien Ar Razi sependapat dengan Imam Syafi’I, bahwa Istihsan tidaklah termasuk dalam salah satu sumber hukum islam, dan bahwa menetapkan hukum berlandaskan Istihsan adalah bathil.[27]
Hal ini bertentangan dengan pendapat Ulama Hanafiyah, yang menyatakan bahwa Istihsan adalah salah satu sumber untuk menetapkan suatu hukum.[28]
Perbedaan pendapat ini terjadi karena ke dua belah mazhab belum menyepakati makna dan batasan-batasan dari istihsan itu sendiri, dan kedua belah pihak memiliki definisi yang berbeda tentang istihsan.[29]
Disatu fihak menyatakan bahwa istihsan adalah menetapkan hukum dengan mengedepankan Hawa tanpa adanya dalil, sedangkan di pihak lain menyatakan bahwa istihsan adalah penetapan hukum berdasarkan dalil-dalil syar’i yang ada.
Maka seandainya aja mereka telah menyepakati makna dan batasan-batasan serta definisi dari istihsan itu tentu mereka tidak akan bersilang pendapat mengenai beristidlal dengan menggunakan istihsan ini.[30]

6.      Pendapat Beliau tentang Maslahah Mursalah
Imam Fakhruddien Ar Razi memiliki pembagian yang sangat rinci berkaitan dengan Maslahah Mursalah ini, berdasarkan kesaksian syara’, beliau membagi perkara ini menjadi tiga bagian :
§  Perkara yang telah mendapatkan kesaksian Syara’ dalam penetapannya sebagai sumber hukum dan ini yang di sebut Qiyas.
§  Perkara yang telah mendapatkan kesaksian syara’ akan kebathilannya, karena lebih mengedepankan hawa nafsu dalam penetapannya.
§  Perkara yang tidak mendapatkan penetapan syara’ tentang kekuatannya atau kebathilannya sebagai sumber hukum, inilah yang akan menjadi pokok dalam pembahasan Maslahah Mursalah.
Lebih rinci lagi beliau membagi maslahah ini menjadi 6 bagian :[31]
§  Maslahat yang tidak bercampur dengan mafsadat, dalam hal ini secara otomatis ditetapkan sebagai hukum syar’I, karena memang maksud dari pentasyri’an adalah untuk menjaga dan memelihara maslahat-maslahat ini.
§  Maslahat yang terkandung lebih dominan dibandingkan mafsadat, hal ini juga secara langsung ditetapkan sebagai hukum syar’i, karena meninggalkan kebaikan yang banyak demi menghindari keburukan yang sedikit adalah keburukan yang banyak.
§  Apabila maslahat dan mafsadatnya seimbang, maka ini adalah perkara yang sia-sia sehingga sudah seharusnya tidak di syari’atkan.
§  Apabila tidak terkandung didalamnya maslahat maupun mafsadat, maka perkara ini pun sia-sia sehingga seharusnya juga tidak disyari’atkan.
§  Apabila yang terkandung didalamnya hanya mafsadat saja, maka sudah pasti ini juga tidak disyari’atkan.
§  Apabila mafsadat yang terkandung lebih dominan dibandingkan dengan maslahat yang ada, maka inipun tidak disyari’atkan.[32]

D.    Kesimpulan dan Penutup
Dari pemaparan-pemaparan singkat diatas dapatlah kita simpulkan bahwa :
§  Pentingnya mempelajari Ilmu Ushulul Fiqh.
§  Imam Fakhruddien Ar Razi adalah seorang Ulama handal yang menguasai secara luas berbagai macam cabang Ilmu pengetahuan.
§  Kitab Al Mahshul karya Imam Fakhruddien Ar Razi patut dijadikan rujukan utama dalam mempelajari Ilmu Ushulul Fiqh.
§  Pentingnya mengkaji kitab-kitab para Ulama agar kita terhindar dari syubhat-syubhat yang memojokkan mereka dari hal-hal yang sebenarnya tidak ada dalam diri dan kehidupan mereka.
Dan akhirnya semoga makalah yang mutawadhi’ ini dapat memberikan sedikit sumbangsih pemikiran bagi kita semua, memotivasi kita untuk lebih mendalami lagi Ilmu Ushulul Fiqh guna memahami hukum-hukum Allah SWT.. yang tertulis dalam Al Qur’an dan As Sunnah maupun tidak.
Dan semoga Allah menjadikan makalah ini sebagai amal sholeh yang memberatkan timbangan kebaikan bagi penulis pada khususnya, dan seluruh pembaca pada umumnya, sehingga menjadi salah satu wasilah yang mengumpulkan kita semua di surga-Nya kelak.
Amien Allhumma Amien…




Daftar Pustaka

Syaamil Al Qur’an Terjemah Per-kata.
Fakhruddien, Muhammad bin Umar bin Al Husein Ar Razi, Al Mahshul fi ‘Ilmil Ushul, Muassasah Ar Risalah, Dirosah wa Tahqiq DR. Thoha Jabir Fayyadh Al ‘alwani.
Abdurrohman bin Abi Bakar Al Shuyuthi, Tobaqat Al Mufassirin,Cairo, maktabah wahbah, Tahqiq Ali Muhammad Umar jilid 1.
Ibn Katsir Ta’rif bil a’lam al waridah fi Al Bidayah wa An Nihayah li Ibn Katsir jilid 1.
Ibn Qody Syuhbah, Thobaqot Al Syafi’iyyah jilid 1
Abu Al Abbas Syamsuddien Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakar bin Kholkan, wafiyyat Al A’yan wa Anbaa’ Abna’ Al Zaman, Beirut : Daar Shodir, Tahqiq Ihsan Abbas, Jilid 4
Syamsuddien Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman adz Dzahabi, Siyar A’lamin Nubala’, jilid 17
Fakhruddien, Muhammad bin Umar bin Al Husein Ar Razi, Al Mahshul fi ‘Ilmil Ushul, maktabah syamilah, jilid  1,4 dan 6.
Imam Syafi’I, Ar Risalah, Bab : Ibtida’ Nasikh  wal Mansukh.
Abdul Wahhab Kholaf, Ilmu Ushulul Fiqh, Cairo : Daarul Qolam, cetakan ke XII 1398 H-1978 M)
Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf Al Juwaini Abul Ma’ali, Al Burhan Fi Ushulul Fiqh, Cairo : Al Wafa Al Manshuroh, cetakan ke IV 1418H, Tahqiq DR.Abdul ‘Adziem Mahmud Ad Died) jilid 1dan 6.
Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl As Sarkhosi, Ushulus Sarkhosi, jilid 2


[1] Fakhruddien, Muhammad bin Umar bin Al Husein Ar Razi, Al Mahshul fi ‘Ilmil Ushul (Muassasah Ar Risalah, Dirosah wa Tahqiq DR. Thoha Jabir Fayyadh Al ‘alwani) jilid 1, hal. 28
[2] Abdurrohman bin Abi Bakar Al Shuyuthi, Tobaqat Al Mufassirin,(cairo, maktabah wahbah, Tahqiq Ali Muhammad Umar) jilid 1, hal.100
[3] Ta’rif bil a’lam al waridah fi Al Bidayah wa An Nihayah li Ibn Katsir jilid 1, hal. 185 Bab. Al Rayy
[4] Ibn Qody Syuhbah, Thobaqot Al Syafi’iyyah jilid 1, hal. 73
[5] Abu Al Abbas Syamsuddien Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakar bin Kholkan, wafiyyat Al A’yan wa Anbaa’ Abna’ Al Zaman ( Beirut : Daar Shodir, Tahqiq Ihsan Abbas ) Jilid 4, Hal.248
[6] Ibid, hal. 252
[7] Fakhruddien, Muhammad bin Umar bin Al Husein Ar Razi, Al Mahshul fi ‘Ilmil Ushul (Muassasah Ar Risalah, Dirosah wa Tahqiq DR. Thoha Jabir Fayyadh Al ‘alwani) jilid 1, hal. 36
[8] Ibid, hal. 29
[9] Ibid, hal. 30
[10] Abu Al Abbas Syamsuddien Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakar bin Kholkan, wafiyyat Al A’yan wa Anbaa’ Abna’ Al Zaman ( Beirut : Daar Shodir, Tahqiq Ihsan Abbas ) Jilid 4, Hal.250
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Syamsuddien Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman adz Dzahabi, Siyar A’lamin Nubala’, jilid 17, hal. 588
[14] Ibid.
[15] Fakhruddien, Muhammad bin Umar bin Al Husein Ar Razi, Al Mahshul fi ‘Ilmil Ushul (maktabah syamilah) jilid  1, hal. 212
[16] Fakhruddien, Muhammad bin Umar bin Al Husein Ar Razi, Al Mahshul fi ‘Ilmil Ushul (Muassasah Ar Risalah, Dirosah wa Tahqiq DR. Thoha Jabir Fayyadh Al ‘alwani) jilid 3, hal. 348.
[17] Imam Syafi’I, Ar Risalah, Bab : Ibtida’ Nasikh  wal Mansukh, Hal. 106
[18] Syamil Al Qur’an terjemah Per-kata, Surah Al Baqoroh (2) ayat 106.
[19] Imam Syafi’I, Ar Risalah, Bab : Ibtida’ Nasikh  wal Mansukh, Hal. 106
[20] Fakhruddien, Muhammad bin Umar bin Al Husein Ar Razi, Al Mahshul fi ‘Ilmil Ushul (maktabah syamilah) jilid 4, hal. 34
[21] Abdul Wahhab Kholaf, Ilmu Ushulul Fiqh (cairo : Daarul Qolam, cetakan ke XII 1398 H-1978 M) hal 48.
[22] Ibid, hal 49.
[23] Fakhruddien, Muhammad bin Umar bin Al Husein Ar Razi, Al Mahshul fi ‘Ilmil Ushul (maktabah syamilah) jilid 4, hal. 130.
[24] Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf Al Juwaini Abul Ma’ali, Al Burhan Fi Ushulul Fiqh (cairo : Al Wafa Al Manshuroh, cetakan ke IV 1418H, Tahqiq DR.Abdul ‘Adziem Mahmud Ad Died) jilid 1, hal. 453
[25] Fakhruddien, Muhammad bin Umar bin Al Husein Ar Razi, Al Mahshul fi ‘Ilmil Ushul (maktabah syamilah) jilid 1, hal. 39
[26] Ibid, hal.37
[27] Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf Al Juwaini Abul Ma’ali, Al Burhan Fi Ushulul Fiqh (cairo : Al Wafa Al Manshuroh, cetakan ke IV 1418H, Tahqiq DR.Abdul ‘Adziem Mahmud Ad Died) jilid 6, hal. 128
[28] Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl As Sarkhosi, Ushulus Sarkhosi, jilid 2, hal. 200
[29] Abdul Wahhab Kholaf, Ilmu Ushulul Fiqh (cairo : Daarul Qolam, cetakan ke XII 1398 H-1978 M) hal 83.
[30] Ibid.
[31] Fakhruddien, Muhammad bin Umar bin Al Husein Ar Razi, Al Mahshul fi ‘Ilmil Ushul (maktabah syamilah) jilid 6, hal. 222
[32] Ibid, hal.223

Tidak ada komentar:

Posting Komentar