A.
Pendahuluan
Segala puji hanyalah milik Allah SWT..,
Sholawat beriring salam semoga selalu tercurah kepada baginda Rosulullah
Muhammad SAW., para kerabatnya, Sahabat-sahabatnya, dan siapapun pengikutnya
yang tetap Istiqomah mengikuti ajaran-ajarannya.
Mengenal, mengetahui, memahami
serta menjalankan segala perintah Allah SWT.., dan sunnah-sunnah Rosulullah SAW.
sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim, agar mereka tetap berada di jalur
yang benar menuju ridho Ilahi.
Oleh karena itu diperlukan pengetahuan
yang benar pula untuk memahami nash-nash yang ada secara benar, dan salah satu
cara memahami ayat-ayat Allah SWT.. dan sunnah-sunnah Rosulullah SAW. secara
benar adalah dengan mempelajari, memahami, serta mendalami Ilmu Ushulul Fiqh
secara benar.
Pemahaman tentang Ilmu Ushulul Fiqh
secara baik dan benar akan mengantarkan seseorang untuk mengerti hukum-hukum
Allah SWT.. secara teliti dan mendalam, hal ini dikarenakan Ilmu Ushulul Fiqh
mengoptimalkan fungsi akal dan Naql secara berimbang dan bersamaan, sehingga
menghindarkan kita dari mengikuti hawa nafsu dalam penetapan hukum yang
bertentangan dengan syria’at, dan menjauhkan kita dari Taqlid buta yang tidak
sejalan dengan akal sehat.
Oleh karena itulah, sudah
selayaknya bagi kita untuk mempelajari Ilmu ini secara lebih mendalam lagi,
mengenal tokoh-tokoh Ulama terkemuka dalam cabang Ilmu ini, mengkaji serta
menelaah sumbangsih pemikiran-pemikiran mereka dalam Ilmu Ushulul Fiqh,
sehingga pada akhirnya nanti kita bisa mengambil ‘Ibroh dan manfaat yang tersirat
maupun tersurat dari profil dan perjalan hidup mereka secara pribadi ataupun
dari karya-karya mereka yang ada disekitar kita hingga saat ini.
Pada makalah ini, saya akan mencoba
untuk mengkaji tentang sosok Imam Fakhruddien Ar Razi dan
pemikiran-pemikirannya dalam bidang Ilmu Ushulul Fiqh sebagaimana tersurat
dalam salah satu karya beliau yang fenomenal yaitu kitab Al Mahshul, yang
mengumpulkan pokok-pokok bahasan Ilmu Ushulul Fiqh yang tercantum dalam 4 kitab
fenomenal sebelumnya yaitu kitab Al Burhan karya Imam Al Juwaini, Al Mustashfa
karya Imam Al Ghozali, Al Mu’tamid karya Abul Husein Al Bashri, dan Al ‘Ahd
karya Al Qodhi Abdul Jabbar Al Hamadani.[1]
B.
Profil Imam
Fakhruddien Ar Razi
Muhammad bin Umar bin Husain bin Hasan
bin Ali at-Taimi al-nakri at-Thabari ar-Razi at-Thabarstani al-Qurasyi al-Faqih
as-Syafi’i yang lebih dikenal dengan gelar Fakhruddien ar-Razi, beliau termasuk
keturunan seorang sahabat yang sangat terkenal yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq Rodhiyallahu
‘anhu.[2]
Dia lahir di Rayy[3]
yang lokasinya sekarang dekat dengan Teheran. Fakhruddien lahir pada bulan
Ramadhan 544 H[4]
bertepatan dengan tahun 1149 M. Fakhruddien ar-Razi mempunyai beberapa nama
panggilan seperti Abu Abdullah, Abul Ma’ali, dan Ibnu Al Khatib ar-Rayy.
Disebabkan pengetahuaannya yang luas, maka
Muhammad Ibnu Umar ar-Razi mendapat berbagai gelar seperti: Khatib ar-Rayy,
al-Imam, Fakhruddien dan Syaikh Islam. Dia mendapat julukan Khatib
ar-Rayy karena dia adalah ulama terkemuka Rayy. Dia dijuluki Imam
karena menguasai ushul fiqih dan syariat. Dia juga disebut Fakhruddien
ar-Razi karena penguasaannya yang sangat mendalam tentang berbagai disiplin
kelimuan yang menyebabkannya berbeda dengan para tokoh pemikir dari Rayy.
Dia juga dipanggil sebagai Syaikhul Islam di Herat karena
penguasaaan keilmuannya yang tinggi.[5]
Mazhab fiqih yang ia pelajari
berasal dari ayahnya Dhiyauddien Umar dan ayahnya belajar dari Abu Muhammad
al-Husain bin Mas’ud al-Farral al-Baghawi dari al-Qadhi Husain al-Maruzi dari
al-Qafal al-Maruzi dari Abi Zaid al-Maruzi dari Abu Ishaq al-Maruzi dari Abul
Abbas bin Suraij (Ahmad bin Umar) dari
Abu Qasim al-Anmathi dari Ibrahim al-Muzani dari Imam Syafi’i.[6]
Fakhruddien ar-Razi sangat terkenal
dikalangan kaum muslimin sebagai seorang mufassir, hal ini berkaitan
erat dengan karya-karya beliau yang berkaitan dengan al-Quran. Beliau menulis Mafatih
al-Ghaib sebanyak 12 jilid besar, Buku
tafsir ini ditulis kurang lebih selama 8 tahun, yaitu dari tahun 595-603 M, Asrar
at-Tanzil wa Anwar at-Ta’wil, Tafsir surat Fatihah, Tafsir
surat al-Baqarah, at-Tanbih ala ba’dh al-Asrar al-Mau’idhah fi ba’dhi ayat
al-Quran, Asas Taqdis, Nihayat al-I’jaz fi Dirayatil I’jaz, Ismatul Anbiya’.
Selain sebagai seorang Mufasir,
Fakhruddien juga seorang pakar syariah. Ini Nampak bukan saja dari
tulisan-tulisanya dalam bidang fiqih dan ushul fiqih,
namun juga dari berbagai perdebatannya dengan ahli-ahli fiqih yang lain. Di
antara tulisan-tulisan Fakhruddien dalam masalah fiqih dan ushul fiqih seperti Ihkamul
Ahkam, Sharh Wajiz fil Fiqh, dan al-Mahshul fi Ilmil Ushul.[7]
Fakhruddien adalah seorang penulis
yang produktif, ia banyak membahas berbagai persoalan dengan mendalam. Ia
menulis sastra arab, kedokteran dan perbandingan agama, di antara karyanya
dalam sastra arab seperti: Nihayatul Ijaz fi Dirayat al-‘Ijaz, Sarh Saqt
al-Zand Li Abil al-Ma’ari dan al-Muharar fi Haqaiq an-Nahwu. Karyanya dalam
bidang kedokteran seperti Syarah al-Qanun, at-Tibb al-Kabir dan
Masail Fit Thibb.
Keadaan Masyarakat pada Masa
Fakhruddien ar-Razi
Fakhruddien ar-Razi hidup pada pertengahan
abad keenam Hijriyah, pada masa itu umat Islam sedang mengalami perkembangan
yang sangat pesat dalam hal politik, masyarakat, ilmiah dan keyakinan. Daulah
Abbasiyah ketika itu sedang mengalami kegoncangan, terjadi perang salib di
daerah Syam dan terjadi perang Tartar didaerah sebelah timur.[8]
Ketika masa itu banyak terjadi
perselisihan madzhab dan aqidah, dan di daerah Rayy saja terdapat banyak
sekali kelompok-kelompok dan madzhab-madzhab fiqih yang berkembang diantaranya :
Syafi’iyah, malikiyah dan lain sebagainya, selain madzhab-madzhab fiqih
diatas terdapat pula madzhab-madzhab Aqidah seperti mu’tazilah, Syi’ah,
Murjiah, Bathiniyah dan al-Karrasiyah. Oleh karena itulah Rayy
juga sangat terkenal sebagai sebuah kota yang menjadi medan yang luas sebagai
tempat bertemunya banyak sekali pemikiran-pemikiran yang berkembang dalam dunia
islam saat itu, ditambah lagi dengan perkembangan dari cabang-cabang ilmu
lainnya yang berakembang secara menakjubkan.[9]
Perantauan Intelektual
Banyak faktor yang membentuk
Fakhruddien ar-Razi menjadi seorang ulama yang berwibawa. Selain memang
memiliki keilmuan, ia mendapat pendidikan awal dari kedua orang tuanya,
guru-gurunya dan dukungan dari para penguasa. Pengalaman dalan perantauan
termasuk factor utama dalam membentuk kepribadian Fakhruddien ar-Razi. Setelah
ayahnya, sekaligus guru pertamanya meninggal pada tahun 559 H, Fakhruddien
ar-Razi yang saat itu berusia 15 tahun sudah merantau ke berbagai daerah. Dia
pertama kali merantau ke Simman dan mendalami fiqih kepada seorang pakar
dalam fiqih yaitu al-Kamal as-Samnani. Dia kemudian kembali lagi ke Rayy
dan berguru kepada Majdudien al-Jili salah satu sahabat dari Muhammad bin Yahya
dalam masalah ilmu kalam dan hikmah. Ketika al-jili pindah ke Maraghah
untuk mengajar, Fakhruddien ikut menemani perjalanan gurunya. Dan diriwayatkan
juga bahwa beliau telah menghafal kitab Asy Syamil karya Imamul
haromain didalam ilmu kalam.[10]
Untuk meluaskan wawasannya,
Fakhruddien merantau ke berbagai daerah lainnya, ia merantau ke Khawarizm[11]
dan berdebat dengan tokoh-tokoh Mu’tazilah yang saat itu sangat
berpengaruh di Khawarizm, selain berdebat dengan tokoh-tokoh Mu’tazilah,
Fakhruddiien ar-Razi juga berdebat dengan para pendeta Kristen. Dalam
perdebatan tersebut, dia menujukkan berbagai kesalahan mendasar dalam dogma-dogma
Kristen serta mempertahankan kemurnian Islam, dari perdebatan ini ia mengarang
sebuah kitab yang berjudul Munazarah fi ar-Rad ala an-Nashara.
Pada tahun 508 H, Fakhruddien yang
pada saat itu sudah berusia 35 tahun, merantau lagi ke Transoxiana dan
menetap kurang lebih dua tahun. Kini Transoxiana adalah pecahan dari
wilayah Uni Soviet yang meliputi Khazakastan, Samarkand dan Uzbekistan. Kemudian
beliau melanjutkan perantauannya ke Sarkhes, Di Sarkhes ia
bertemu dengan Abdurrhman bin Abdulkarim as-Sarkhosi, seorang dokter, dalam
pertemuan tersebut, Fakhruddien yang juga sudah mengetahui tentang ilmu
kedokteran menjelaskan kepada Abdurrahman tentang kitab al-Qanun. Dari
Sarkhes, Fakhruddien menuju Bukhara, selanjutnya ke Samarkand, Khujand,
Banakit, Ghaznah dan India.
Dari Samarkand, Fakhruddien
bekunjung ke Ghaznah, disana ia mendapat perlindungan dari raja Ghaznah,
Shihabuddien al-Ghuridan saudaranya Ghiyatuddien. Fakhruddien berhasil mengubah
Ghiyatuddien yang meyakini karamiyah kepada Ahlus Sunnah, karena
hal ini pengikut Karamiyah sangat marah kepadanya. Selain itu, pengikut Karamiyah
juga marah kepada Fakhruddien karena dia mengkritik tokoh mereka, Ibnu Qudwah
di depan public. Amiruddien, sepupu Ghiyatuddien menolong Ibnu Qudwah dan
mengusir Fakhruddien dari Ghur.
Perantauan Fakhruddien ar-Razi
berakhir di Herat. Di Herat dia mendapat perlindungan dari Sultan Khurasan Ali
ad-Din Khawarazamshah Tukush, ia menjadi pengajar anak sultan yang mewarisi
tahta tahun 596 H.
Acara-acara Fakhruddien ar-Razi di kota Herat
di hadiri oleh banyak cendekiawan dan tokoh. Mereka bertanya mengenai berbagai
persoalan dan mendengar darinya jawaban-jawaban spektakuler. Disebabkan
usahanya banyak dari kalangan Karamiyah dan kalangan yang lain kembali ke Ahlus
Sunnah. Di Herat Fakhruddien diberi gelar Syaikhul Islam. Ia menetap
di Herat sampai akhir hayatnya, ia meninggal di desa Mudhakhan, Herat pada
tahun 606 H pada usia 62 tahun.[12]
C.
Fakhruddin Ar
Razi dan pemikirannya dalam Ushulul Fiqh
Selain terkenal sebagai seorang mufassir
yang handal, Fakhruddien Ar Razi juga sangatlah handal dan mumpuni dalam
penguasaan Ilmu Ushulul Fiqh, hal ini dibuktikan dengan karya beliau yang
sangat istimewa dan sensasional dalam Ushulul Fiqh yakni kitab Al Mahshul
yang terdiri dari 6 jilid besar.[13]
Fakhruddien ar-Razi meiliki keilmuan yang tinggi dalam masalah fiqih dan
ushulnya karena memang sejak muda ia telah berhasil menguasai literatur-literatur
utama yang dijadikan standar dalam ushul fiqih seperti: al-Burhan karya Imam
al-Haramain al-Juwaini, al-‘Ahd karya Qadhi Abdul Jabar, Musthashfa
karya Imam Ghazali, al-Mu’tamid karya Abu Husain al-Bashri, dan dari
keempat literatur utama dalam ilmu Ushulul Fiqh diatas ada 2 buku yang sangat
beliau kuasai dan hafal secara terperinci yaitu kitab Musthashfa karya
Imam Ghazali, al-Mu’tamid karya Abu Husain al-Bashri.[14]
Untuk lebih mengenal sumbangsih
pemikiran beliau dalam Ushulul Fiqh, berikut pandangan-pandangan beliau dalam
berbagai hal yang berkaitan langsung dengan Ushulul Fiqh :
1.
Beliau lebih mengedepankan Istidlal
dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa dibandingkan dengan hadits-hadits ahad
dalam penetapan hukum, hal ini tergambar jelas dalam ungkapan
beliau ketika beliau mengkritik para ulama Ushul dan berkata :
والعجب من الأصوليين أنهم أقاموا
الدلالة على أن خبر الواحد حجة في الشرع ولم يقيموا الدلالة على ذلك في اللغة وكان
هذا أولى لأن اثبات اللغة كالأصل للتمسك بخبر الواحد وبتقدير أن يقيموا الدلالة
على ذلك فكان من الواجب عليهم أن يبحثوا عن أحوال رواة اللغاة وإن والنحو وأن
يتفحصوا عن اسباب جرحهم وتعديلهم كما فعلوا ذلك في رواة الأخبار لكنهم تركوا ذلك
بالكلية مع شدة الحاجة إليه فإن اللغة والنحو يجريان مجرى الأصل للاستدلال بالنصوص[15]
“ Suatu sikap yang aneh yang
terjadi pada para ulama ushul : mereka menjadikan khabar ahad sebagai dalil
untuk menentukan suatu hukum, tetapi tidak melakukan hal yang sama pada bahasa,
padahal penetapan hukum berdasarkan bahasa adalah lebih utama, maka dari itulah
sudah menjadi kewajiban atas mereka untuk membahas keadaan ulama bahasa dan
Nahwu, meneliti sebab-sebab jarh dan ta’dil atas mereka, sebagaimana yang telah
mereka lakukan terhadap para perawi hadits, tetapi mereka meninggalkan perkara
yang sangat penting dan dibutuhkan ummat ini, padahal lughoh atau bahasa dan
nahwu berkedudukan sebagai sumber asal untuk beristidlal terhadap nash-nash
yang ada.
2.
Pendapat
beliau tentang nasikh dan mansukh
Imam Fakhruddien Ar Razi
berpendapat bahwa :
“Penasakhan Al Kitab ( Al Qur’an )
melalui sunnah mutawatiroh adalah jaiz atau boleh dan hal itu benar-benar
terjadi”.
Hal ini bertentangan dengan
pendapat Imam Syafi’I dalam kitabnya Ar Risalah, ketika beliau berkata:
وأنزل عليهم الكتاب تِبْياناً لكل شيء وهُدًى
ورحمةً وفرض فيه فرائض أثبتها وأُخْرَى نسَخَها رحمةً لِخَلْقه بالتخفيف عنهم
وبالتوسعة عليهم زيادة فيما ابتدأهم به مِن نِعَمه . وأثابَهم على الانتهاء إلى ما
أثبت عليهم : جَنَّتَه والنجاة من عذابه فعَمَّتْهم رحمتُه فيما أثبت ونسخ فله
الحمد على نعمه
وأبان الله لهم أنه إنما نسخ ما نسخ من الكتاب
بالكتاب وأن السنةَ لا ناسخةٌ للكتاب وإنما هي تَبَع للكتاب يُمَثِّلُ ما نَزل
نصاً ومفسِّرةٌ معنى ما أنزل الله منه جُمَلاً[17]
“Dan Allah telah menurunkan atas mereka Al Kitab (Al Qur’an) sebagai
penerang untuk segala sesuatu, petunjuk dan juga rahmat, dan Allah juga telah
mewajibkan didalam Al Qur’an itu berbagai kewajiban kemudian menetapkan hukum
sebagiannya serta menghapuskan (menasakh) sebagian yang lainnya sebagai rahmat
bagi hamba-Nya dengan memberikan kemudahan-kemudahan dan keluasan-keluasan bagi
mereka sekaligus sebagai tambahan nikmat yang Allah curahkan bagi mereka atas
nikmat-nikmat yang telah Allah berikan sejak awal pada mereka, yang pada
Akhirnya Allah akan memberikan balasan pada mereka dengan menetapkan surga-Nya
bagi mereka dan keselamatan dari adzab-Nya sehingga tersebarlah rahmat-Nya atas
makhluk-Nya dari setiap ketetapan dan penasakhan, segala puji hanya milik Allah
atas segala nikmat-Nya.
Dan
kemudian Allah menjelaskan pada mereka bahwa Allah tidak akan menasakh Al Kitab
(Al Qur’an) kecuali dengan Al Kitab pula dan Sunnah tidak bisa menasakh Al
Qur’an, karena sesungguhnya kedudukan sunnah dalam hal ini hanyalah sebagai
penguat nash-nash yang ada dalam Al Qur’an dan penjelas makna-makna yang
terkandung dalam nash Al Qur’an apabila diturunkan secara mujmal”.
Dalam hal
ini Imam Syafi’I menggunakan firman Allah swt. :
مَا نَنْسَخْ مِنْ آَيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ [18]
“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau
Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik
daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”
فأخبر الله
أنَّ نسْخَ القُرَآن وتأخيرَ إنْزالِه لا يكون إلا بِقُرَآن مثلِه[19]
Di dalam
ayat ini Allah swt. Menyatakan bahwa nasakh Al Qur’an dan penta’khiran
penurunannya tidak dapat terjadi kecuali dengan Al Qur’an pula.
Pendapat
ini dibantah oleh Imam Ar Razi seraya beliau menyatakan bahwa ayat 106 surah Al
Baqoroh diatas tidaklah mewajibkan penasakhan ayat dengan ayat, akan
tetapi penaskhan hukum yang telah ada dengan hukum yang lebih baik dan
relevan, dan juga bahwa sunnah Rosulullah saw. yang mutawatir juga
bersumber dari Allah swt. sehingga kedudukannya juga setingkat dengan Al Qur’an
sebagai sumber hukum yang wajib diyakini oleh setiap muslim.
Dan
beliaupun memperkuat pendapat beliau dengan memberikan contoh yang telah
terjadi mengenai penaskhan hukum yang terdapat di dalam Al Qur’an dengan
hadis mutawatir, sebagaimana hadis Rosulullah saw. لا وصية لوارث menasakh hukum wasiat untuk para
kerabat الوصية للأقربين.
3.
Pendapat
beliau tentang Ijma’
·
Kemungkinan terjadinya Ijma’
Dalam kemungkinan terjadinya Ijma’
beliau berpendapat bahwa Ijma’ tidak mungkin dapat dilakukan kecuali
pada masa para sahabat[20],
hal ini bertentangan dengan pendapat sebagian Ulama syi’ah dan Nazhzhomiyah
yang menyatakan bahwa dengan melihat segala rukun Ijma’ yang telah
ditetapkan , maka Ijma’ sangatlah mustahil untuk dilakukan.[21]
Sedangkan Jumhur Ulama
berpendapat bahwa Ijma’ masih mungkin saja terjadi sampai saat ini.[22]
·
Apabila Sahabat sepakat kepada 2 pendapat
dari 3 pendapat yang ada dalam satu masalah, apakah boleh Ulama yang datang
dikemudian hari untuk mengemukakan pendapat ke-3 ?
Dalam hal ini Imam Fakhruddien Ar
Rozi berpendapat bahwa mengemukakan pendapat ke-3 boleh-boleh saja.[23]
Hal ini bertentangan dengan
pendapat Imam Al Juwaini yang menyatakan bahwa kesepakatan para ulama untuk
memilih 2 pendapat dari 3 pendapat yang ada adalah Ijma’ mereka untuk
hanya memilih 2 pendapat itu saja, sehingga tidak boleh kita mengambil dan
mengemukakan pendapat yang ke-3.[24]
4.
Pendapat
beliau tentang Qiyas
Terdapat tuduhan yang tidak
beralasan yang di alamatkan kepada Fakhruddien Ar Razi dalam hal yang berkaitan
dengan pandangan beliau tentang Qiyas, mereka menyatakan bahwa
Fakhruddien Ar Razi termasuk ke dalam golongan nufatul qiyas atau
orang-orang yang menolak qiyas sebagai salah satu sumber hukum dalam
islam, hal ini karena ketidak fahaman mereka tentang tafsir surah Asy Syuro
ayat 10 :[25]
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Tentang sesuatu apapun
kamu berselisih, Maka putusannya (terserah) kepada Allah. (yang mempunyai
sifat-sifat demikian) Itulah Allah Tuhanku. kepada-Nya lah aku bertawakkal dan
kepada-Nyalah aku kembali.
Mereka menuduh Fakhruddien Ar Razi
tanpa mau membaca kitab Al Mahshul fi ‘Ilmil Ushul yang beliau tulis,
andai saja mereka mau membaca kitab ini, tentu tuduhan ini takkan pernah
terjadi, karena Fakhruddien Ar Razi menjelaskan secara rinci segala hal yang
berkaitan dengan Qiyas, beliau mengemukakan madzhab-madzhab para ulama,
menjelaskan hujjah masing-masing madzhab secara detail, kemudian secara tegas
menyatakan posisi dan pendapat beliau mengenai Qiyas seraya berkata :
" والذي نذهب إليه وهو قول
الجمهور من علماء الصحابة والتابعين: أن القياس حجة في الشرع "[26]
Yang artinya : “ Dan kami
berpendapat sama seperti pendapat Jumhur Ulama dari para sahabat dan Tabi’in
bahwa Qiyas adalah hujjah dalam Syari’ah.”
5.
Pendapat
beliau tentang Istihsan
Berkaitan dengan Istidlal
menggunakan Istihsan Fakhruddien Ar Razi sependapat dengan Imam Syafi’I, bahwa Istihsan
tidaklah termasuk dalam salah satu sumber hukum islam, dan bahwa menetapkan
hukum berlandaskan Istihsan adalah bathil.[27]
Hal ini bertentangan dengan
pendapat Ulama Hanafiyah, yang menyatakan bahwa Istihsan adalah
salah satu sumber untuk menetapkan suatu hukum.[28]
Perbedaan pendapat ini terjadi
karena ke dua belah mazhab belum menyepakati makna dan batasan-batasan dari istihsan
itu sendiri, dan kedua belah pihak memiliki definisi yang berbeda tentang istihsan.[29]
Disatu fihak menyatakan bahwa istihsan
adalah menetapkan hukum dengan mengedepankan Hawa tanpa adanya dalil,
sedangkan di pihak lain menyatakan bahwa istihsan adalah penetapan hukum
berdasarkan dalil-dalil syar’i yang ada.
Maka seandainya aja mereka telah
menyepakati makna dan batasan-batasan serta definisi dari istihsan itu tentu
mereka tidak akan bersilang pendapat mengenai beristidlal dengan
menggunakan istihsan ini.[30]
6.
Pendapat
Beliau tentang Maslahah Mursalah
Imam Fakhruddien Ar Razi memiliki
pembagian yang sangat rinci berkaitan dengan Maslahah Mursalah ini,
berdasarkan kesaksian syara’, beliau membagi perkara ini menjadi tiga
bagian :
§ Perkara yang
telah mendapatkan kesaksian Syara’ dalam penetapannya sebagai sumber
hukum dan ini yang di sebut Qiyas.
§ Perkara yang
telah mendapatkan kesaksian syara’ akan kebathilannya, karena lebih
mengedepankan hawa nafsu dalam penetapannya.
§ Perkara yang
tidak mendapatkan penetapan syara’ tentang kekuatannya atau
kebathilannya sebagai sumber hukum, inilah yang akan menjadi pokok dalam
pembahasan Maslahah Mursalah.
Lebih rinci lagi beliau membagi maslahah
ini menjadi 6 bagian :[31]
§ Maslahat yang tidak bercampur dengan mafsadat,
dalam hal ini secara otomatis ditetapkan sebagai hukum syar’I, karena memang
maksud dari pentasyri’an adalah untuk menjaga dan memelihara maslahat-maslahat
ini.
§ Maslahat yang terkandung lebih dominan dibandingkan mafsadat,
hal ini juga secara langsung ditetapkan sebagai hukum syar’i, karena
meninggalkan kebaikan yang banyak demi menghindari keburukan yang sedikit
adalah keburukan yang banyak.
§ Apabila maslahat
dan mafsadatnya seimbang, maka ini adalah perkara yang sia-sia sehingga
sudah seharusnya tidak di syari’atkan.
§ Apabila tidak
terkandung didalamnya maslahat maupun mafsadat, maka perkara ini
pun sia-sia sehingga seharusnya juga tidak disyari’atkan.
§ Apabila yang
terkandung didalamnya hanya mafsadat saja, maka sudah pasti ini juga
tidak disyari’atkan.
§ Apabila mafsadat
yang terkandung lebih dominan dibandingkan dengan maslahat yang ada,
maka inipun tidak disyari’atkan.[32]
D.
Kesimpulan dan
Penutup
Dari pemaparan-pemaparan singkat
diatas dapatlah kita simpulkan bahwa :
§ Pentingnya
mempelajari Ilmu Ushulul Fiqh.
§ Imam
Fakhruddien Ar Razi adalah seorang Ulama handal yang menguasai secara luas
berbagai macam cabang Ilmu pengetahuan.
§ Kitab Al
Mahshul karya Imam Fakhruddien Ar Razi patut dijadikan rujukan utama dalam
mempelajari Ilmu Ushulul Fiqh.
§ Pentingnya
mengkaji kitab-kitab para Ulama agar kita terhindar dari syubhat-syubhat yang
memojokkan mereka dari hal-hal yang sebenarnya tidak ada dalam diri dan
kehidupan mereka.
Dan akhirnya semoga makalah yang
mutawadhi’ ini dapat memberikan sedikit sumbangsih pemikiran bagi kita semua,
memotivasi kita untuk lebih mendalami lagi Ilmu Ushulul Fiqh guna memahami
hukum-hukum Allah SWT.. yang tertulis dalam Al Qur’an dan As Sunnah maupun
tidak.
Dan semoga Allah menjadikan makalah
ini sebagai amal sholeh yang memberatkan timbangan kebaikan bagi penulis pada
khususnya, dan seluruh pembaca pada umumnya, sehingga menjadi salah satu wasilah
yang mengumpulkan kita semua di surga-Nya kelak.
Amien Allhumma Amien…
Daftar Pustaka
Syaamil Al
Qur’an Terjemah Per-kata.
Fakhruddien,
Muhammad bin Umar bin Al Husein Ar Razi, Al Mahshul fi ‘Ilmil Ushul,
Muassasah Ar Risalah, Dirosah wa Tahqiq DR. Thoha Jabir Fayyadh Al ‘alwani.
Abdurrohman
bin Abi Bakar Al Shuyuthi, Tobaqat Al Mufassirin,Cairo, maktabah wahbah,
Tahqiq Ali Muhammad Umar jilid 1.
Ibn Katsir
Ta’rif bil a’lam al waridah fi Al Bidayah wa An Nihayah li Ibn Katsir jilid
1.
Ibn Qody
Syuhbah, Thobaqot Al Syafi’iyyah jilid 1
Abu Al Abbas
Syamsuddien Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakar bin Kholkan, wafiyyat Al A’yan
wa Anbaa’ Abna’ Al Zaman, Beirut : Daar Shodir, Tahqiq Ihsan Abbas,
Jilid 4
Syamsuddien
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman adz Dzahabi, Siyar A’lamin
Nubala’, jilid 17
Fakhruddien,
Muhammad bin Umar bin Al Husein Ar Razi, Al Mahshul fi ‘Ilmil Ushul, maktabah
syamilah, jilid 1,4 dan 6.
Imam Syafi’I, Ar
Risalah, Bab : Ibtida’ Nasikh wal
Mansukh.
Abdul Wahhab
Kholaf, Ilmu Ushulul Fiqh, Cairo : Daarul Qolam, cetakan ke XII 1398
H-1978 M)
Abdul Malik
bin Abdullah bin Yusuf Al Juwaini Abul Ma’ali, Al Burhan Fi Ushulul Fiqh, Cairo
: Al Wafa Al Manshuroh, cetakan ke IV 1418H, Tahqiq DR.Abdul ‘Adziem
Mahmud Ad Died) jilid 1dan 6.
Muhammad bin Ahmad
bin Abi Sahl As Sarkhosi, Ushulus Sarkhosi, jilid 2
[1]
Fakhruddien, Muhammad bin Umar bin Al Husein Ar Razi, Al Mahshul fi ‘Ilmil
Ushul (Muassasah Ar Risalah, Dirosah wa Tahqiq DR. Thoha Jabir Fayyadh Al
‘alwani) jilid 1, hal. 28
[2]
Abdurrohman bin Abi Bakar Al Shuyuthi, Tobaqat Al Mufassirin,(cairo,
maktabah wahbah, Tahqiq Ali Muhammad Umar) jilid 1, hal.100
[3]
Ta’rif bil a’lam al waridah fi Al Bidayah wa An Nihayah li Ibn Katsir
jilid 1, hal. 185 Bab. Al Rayy
[4]
Ibn Qody Syuhbah, Thobaqot Al Syafi’iyyah jilid 1, hal. 73
[5]
Abu Al Abbas Syamsuddien Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakar bin Kholkan, wafiyyat
Al A’yan wa Anbaa’ Abna’ Al Zaman ( Beirut : Daar Shodir, Tahqiq Ihsan
Abbas ) Jilid 4, Hal.248
[6]
Ibid, hal. 252
[7]
Fakhruddien, Muhammad bin Umar bin Al Husein Ar Razi, Al Mahshul fi ‘Ilmil
Ushul (Muassasah Ar Risalah, Dirosah wa Tahqiq DR. Thoha Jabir Fayyadh Al
‘alwani) jilid 1, hal. 36
[8]
Ibid, hal. 29
[9]
Ibid, hal. 30
[10]
Abu Al Abbas Syamsuddien Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakar bin Kholkan, wafiyyat
Al A’yan wa Anbaa’ Abna’ Al Zaman ( Beirut : Daar Shodir, Tahqiq Ihsan
Abbas ) Jilid 4, Hal.250
[11]
Ibid.
[12]
Ibid.
[13]
Syamsuddien Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman adz Dzahabi, Siyar
A’lamin Nubala’, jilid 17, hal. 588
[14]
Ibid.
[15]
Fakhruddien, Muhammad bin Umar bin Al Husein Ar Razi, Al Mahshul fi ‘Ilmil
Ushul (maktabah syamilah) jilid 1,
hal. 212
[16]
Fakhruddien, Muhammad bin Umar bin Al Husein Ar Razi, Al Mahshul fi ‘Ilmil
Ushul (Muassasah Ar Risalah, Dirosah wa Tahqiq DR. Thoha Jabir Fayyadh Al
‘alwani) jilid 3, hal. 348.
[17]
Imam Syafi’I, Ar Risalah, Bab : Ibtida’ Nasikh wal Mansukh, Hal. 106
[18]
Syamil Al Qur’an terjemah Per-kata, Surah Al Baqoroh (2) ayat 106.
[19]
Imam Syafi’I, Ar Risalah, Bab : Ibtida’ Nasikh wal Mansukh, Hal. 106
[20]
Fakhruddien, Muhammad bin Umar bin Al Husein Ar Razi, Al Mahshul fi ‘Ilmil
Ushul (maktabah syamilah) jilid 4, hal. 34
[21]
Abdul Wahhab Kholaf, Ilmu Ushulul Fiqh (cairo : Daarul Qolam, cetakan ke
XII 1398 H-1978 M) hal 48.
[22]
Ibid, hal 49.
[23]
Fakhruddien, Muhammad bin Umar bin Al Husein Ar Razi, Al Mahshul fi ‘Ilmil
Ushul (maktabah syamilah) jilid 4, hal. 130.
[24]
Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf Al Juwaini Abul Ma’ali, Al Burhan Fi
Ushulul Fiqh (cairo : Al Wafa Al Manshuroh, cetakan ke IV 1418H, Tahqiq
DR.Abdul ‘Adziem Mahmud Ad Died) jilid 1, hal. 453
[25]
Fakhruddien, Muhammad bin Umar bin Al Husein Ar Razi, Al Mahshul fi ‘Ilmil
Ushul (maktabah syamilah) jilid 1, hal. 39
[26]
Ibid, hal.37
[27]
Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf Al Juwaini Abul Ma’ali, Al Burhan Fi
Ushulul Fiqh (cairo : Al Wafa Al Manshuroh, cetakan ke IV 1418H, Tahqiq
DR.Abdul ‘Adziem Mahmud Ad Died) jilid 6, hal. 128
[28]
Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl As Sarkhosi, Ushulus Sarkhosi, jilid 2,
hal. 200
[29]
Abdul Wahhab Kholaf, Ilmu Ushulul Fiqh (cairo : Daarul Qolam, cetakan ke
XII 1398 H-1978 M) hal 83.
[30]
Ibid.
[31]
Fakhruddien, Muhammad bin Umar bin Al Husein Ar Razi, Al Mahshul fi ‘Ilmil
Ushul (maktabah syamilah) jilid 6, hal. 222
[32]
Ibid, hal.223
Tidak ada komentar:
Posting Komentar