Laman

Jumat, 01 Juni 2012

Masa 'Iddah dan Ihdad


1.                       Pendahuluan
Segala puji hanyalah milik Allah SWT, Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada baginda Rosulullah SAW, keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Pernikahan merupakan suatu ikatan perkawinan yang menghalalkan antara suami istri untuk melakukan hubungan suami istri. Di dalam pernikahan dituntut untuk selalu dapat menjaga dan mempertahankan keharmonisan dan keutuhan rumah tangga, sehingga tercipta keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah. Namun, terkadang di dalam rumah tangga sering terjadi konflik keluarga.
Hal inilah yang dapat menyebabkan suatu keluarga tersebut terjadi perceraian.
Di dalam agama Islam perceraian merupakan perbuatan yang halal namun sangat dibenci oleh Allah SWT. Untuk itu agama Islam menetapkan suatu aturan hukum yang mengatur pernikahan, perceraian, dan semua hal yang berkaitan dengannya, sehingga tujuan untuk membentuk keluarga yang utuh dan harmonis dapat dicapai. Maka dari itulah, membahas masalah Iddah dan juga Ihdad ini menjadi sangatlah penting bagi  kaum muslimin, sehingga kita semua bisa menjauhkan diri kita dari hal-hal yang dilarang dalam agama. Iddah dan Ihdad ini dibahas guna memberikan pemahaman yang benar kepada setiap muslim bahwa setelah perceraian dilakukan ada hukum-hukum islam yang harus difahami dan diamalkan sebagai akibat dari perceraian itu sendiri, khususnya bagi perempuan. Yaitu masalah Iddah dan Ihdad. Dan pada makalah ini penulis akan berusaha membahas kedua hal tersebut, dan hukum-hukum yang berkaitan dengan keduanya.
2.                       Definisi ‘Iddah dan Ihdad
·                     Definisi ‘Iddah
Iddah menurut bahasa adalah الإحصاء[1] yang berarti perhitungan.
Sedangkan pengertian ‘Iddah menurut syara’ terdapat banyak sekali pendapat para ulama, yang secara garis besarnya dapat dibagi  menjadi 2 madzhab yaitu madzhab Hnafiyyah dan madzhab Jumhur Ulama.
Menurut Madzhab Hanafiyah, ‘Iddah adalah:
تربص يلزم المرأة عند زوال النكاح أو شبهته[2]
“Iddah adalah batasan-batasan waktu menunggu yang diharuskan atas wanita  karena dampak dari hilangnya pernikahan”. atau dengan pengertian lain yaitu waktu menunggu yang diwajibkan bagi perempuan untuk melanjutkan atau memutuskan pernikahan.
Sedangkan menurut Jumhur Ulama ‘iddah adalah :
اسم لمدة تتربص فيها المرأة لمعرفة براءة رحمها أو للتعبد أو لتفجعها على زوجها[3]
“Nama masa menunggu bagi seorang wanita untuk memastikan atau mengetahui kekosongan rahimnya (apakah ada janin yang dikandungnya atau tidak), juga sebagai tanda pengabdian diri kepada Allah, dan berkabung karena ditinggal mati oleh suami”.

·                     Definisi Ihdad
Pengertian Ihdad menurut bahasa adalah :
عِبَارَةٌ عَنْ الِامْتِنَاعِ مِنْ الزِّينَةِ[4]
“Ungkapan yang berarti meninggalkan perhiasan”.
Sedangkan menurut Istilah para Ulama Ihdad adalah meninggalkan perhiasan dan wangi-wangian di waktu tertentu, oleh seseorang yang ditinggalkan oleh orang dekat yang dikasihinya karena kehilangan dan kesedihan yang mendalam.
Dari definisi-definisi diatas dapatlah kita simpulkan bahwa Iddah dan Ihdad adalah 2 hal yang berbeda dan tidaklah sama, karena ‘Iddah disebabkan karena adanya ikatan pernikahan, sedangkan ihdad selain dapat disebabkan karena ikatan pernikahan ia juga dapat disebabkan karena ikatan kekeluargaan, walaupun pada pembahasan ini nantinya akan kita temukan kesamaan pada masa ‘Iddah dan Ihdad.
·                     Macam-macam ‘Iddah
a.                       Iddah bagi perempuan yang belum digauli
Ibnu Rusyd berkata :
فَأَمَّا غَيْرُ الْمَدْخُولِ بِهَا عدتها : فَلَا عِدَّةَ عَلَيْهَا بِإِجْمَاعٍ[5]
Yang artinya adalah, bahwa wanita yang belum digauli, tidak ada masa ‘Iddah atas dirinya menurut Ijma’ para Ulama.
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam Surat Al Ahzab ayat 49:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.”
b.                       Iddah karena cerai mati
Iddah perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya, yaitu ada dua keadaan, yaitu  Jika perempuan tersebut hamil, dan dalam keadaan tidak hamil.
c.                        Iddah cerai hidup
Iddah bagi wanita yang diceraikan oleh suaminya bukan karena kematian dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok :
-   Dalam keadaan hamil
-   Dalam keadaan dewasa (tidak hamil)
-   Belum dewasa

3.                       Pendapat-pendapat Para Ulama
·                     Iddah bagi wanita hamil
Para ulama membagi Iddah bagi wanita hamil kepada 2 bagian :
a.                       Wanita hamil yang ditinggal mati suaminya
b.                        Wanita hamil yang ditalak, dalam hal ini tidak ada khilaf antara para ‘ulama, bahwa masa Iddahnya berakhir setelah ia melahirkan.[6]
Para ulama berbeda pendapat tentang masa Iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati kepada 2 madzhab:
Madzhab pertama         : Imam Ali bin Abi Tholib RA dan sebagian Ulama menyatakan bahwa hendaklah wanita yang sedang hamil melewati masa Iddah terlama antara ia melahirkan atau menunggu empat bulan 10 hari.
Madzhab kedua             : Jumhur Ulama dan Ibnu Hazm menyatakan bahwa hendaklah ia mengakhiri masa Iddahnya sdetelah ia melahirkan, baik kelahiran itu lebih pendek ataupun lebih panjang dibandingkan dengan masa Iddah 4 bulan 10 hari.
Dalil-dalil yang digunakan oleh madzhab pertama :
A.                       Bahwa sesungguhnya firman Allah SWT dala surat albaqoroh ayat 234 :

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ 
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
Dan firman Allah dalam surat at tholaq ayat 4:

 وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا

“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”

Keduanya merupakan ‘am dari satu sisi dan khos dari sisi yang lain, yang pertama ‘am untuk para wanita yang ditinggal mati suami mereka baik dalam keadaan hamil maupun tidak, sedangkan yang kedua khusus untuk yang sedang hamil saja baik karena ditinggal mati suami mereka ataupun tidak, maka sudah selayaknyalah mengamalkan keduanya, dan tidak menafikan ataupun mentarjih antara yang satu atas yang lainnya.
B.                       Tidaklah boleh memperpendek masa Iddahnya hanya dengan kelahiran saja, karena sesungguhnya Iddah dalam keadaan hamil disebutkan untuk wanita yang di talaq saja, bukan untuk para wanita yang ditinggal mati suami mereka, karena  penafsiran surat at tolaq ayat : 4 ini adalah terusan dari surat at tholaq ayat satu yang berbunyi :

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ  
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)  dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.”
dalil-dalil yang digunakan oleh madzhab ke-dua :
A.                       Firman Allah SWT :
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
وجه الاستدلال : إن هذه الآية عامة تتناول كل حامل مطلقة أو متوفى عنها.[7]
Ayat diatas melingkupi stiap wanita hamil, baik yang ditinggal mati suaminya maupun yang ditalak.
B.                       Sabda Rosulullah SAW :
عن المسوربن مخرمة رضي الله عنه انّ سبيعة الأسلمية نفست بعد وفاة زوجها بليال، فجاءت إلى النبي ص.م. فاستاءذنته أن تنكح فأذن لها، فنكحت [8]
Dari Miswar putera Makhramah: “Bahwasanya Subai’ah Aslamiyah ra melahirkan setelah suaminya meninggal dunia beberapa malam, kemudian ia menghadap Rasulullah dan minta izin untuk kawin, maka Rasulullah mengizinkannya, kemudian ia kawin.” (Hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhari).
·                     Iddah bagi wanita yang ditalaq
Madzhab pertama         : Apabila seorang wanita di talak oleh suaminya, baik talak Roj’I maupun talak bain sedangkan ia telah dewasa (haid aktif) maka Iddahnya adalah 3 kali Haid, sedangkan apabila ia belum haid atau tidak lagi mengalami haid karena factor usia maka masa Iddahnya adalah 3 bulan, pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, Ats Tsauri, Al Awza’I, Ibnu Abi Laila, Ali bin Abi Tholib, Umar bin Khottob, Ibnu Mas’ud, dan Abu Musa Al Asy’ari RA.[9]
Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Abdul Ghoni Alhanafi :
إذا طلق الرجل امرأته طلاقا بائنا أو رجعيا وهي حرة ممن تحيض فعدتها ثلاثة أقراء والأقراء : الحيض وإن كانت لا تحيض من صغر أو كبر فعدتها ثلاثة أشهر[10]
Madzhab kedua : Apabila seorang wanita di talak oleh suaminya, baik talak Roj’I maupun talak bain sedangkan ia telah dewasa (haid aktif) maka Iddahnya adalah 3 kali Suci, sedangkan apabila ia belum haid atau tidak lagi mengalami haid karena factor usia maka masa Iddahnya adalah 3 bulan, pendapat ini dikemukakan oleh madzhab Imam Malik, Imam Syafi’I, Jumhur ahlil madinah, Abdullah bin Umar, Zaid bin Tsabit dan Aisyah RA.[11]
Dalil-dalil madzhab pertama    :
Firman Allah SWT :

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيم

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. “
Ayat diatas dengan tegas menyatakan ثلاثة قروء yang berarti 3 quru’ secara sempurna, jadi apabila quru’ dalam ayat ini diartikan sebagai suci, itu berarti penerapan masa Iddah bisa jadi hanya sampai 2 Quru’ dan sebagian saja, hal ini akan menyalahi ayat ini sendiri yang menyatakan bahwa masa iddah mereka adalah 3 quru’.
Dan juga didalam ayat ini juga Allah menjelaskan tentang salah satu tujuan dari adanya iddah yaitu mengetahui keadaan Rahim wanita :
وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ
Dan untuk mengetahui bahwa sang istri sedang mengandung atau tidak ditetapkan dengan haid, bukan dengan suci, maka dari itu makna quru’ yang dimaksud dalam ayat ini adalah haid bukan suci.
Dalil-dalil madzhab ke-dua       :

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ
 
Dari Al Qur’an :
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. “
Dalam ayat ini Allah menggunakan kataقروء  yang, tapi dalam kebiasaan bangsa arab kataقروء  digunakan sebagai bentuk jama’ yang berarti suci, sedangkan bentuk jama’ yang biasa dipakai untuk haid adalah [12]أقراء.
Dari hadits Rosulullah SAW :
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِى مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ - رضى الله عنهما - أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهْىَ حَائِضٌ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَسَأَلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ، ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ، ثُمَّ تَطْهُرَ ، ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ ، فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِى أَمَرَ اللَّهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ »[13]
Sabda Rosulullah SAW yang menyatakan فتلك العدة التي أمر الله أن يطلق لها النساء setelah menjelaskan makna ‘Iddah dalam hadits ini dengan suci menjadi dalil yang sangat kuat yang menunjukkan bahwa arti Quru’ dalam surat Al Baqoroh ayat 228 suci bukan haid.
·                     Masa Ihdad
Untuk pembahasan tentang masa ihdad, perbedaan pendapat para ulama hampir sama persis dengan perbedaan pendapat mereka dalam bahasan tentang masa iddah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, dan para ulama sepakat tentang tidak adanya Ihdad bagi wanita yang ditalak raj’i.
Sedangkan bagi wanita yang ditalak dengan talak bain, para ulama berbeda pendapat kepada 2 kelompok :
Madzhab pertama         : ‘Atha`, Rabi’ah, Malik, Al-Laits, Asy-Syafi’i, dan Ibnul Mundzir rahimahumullah berpendapat tidak ada ihdad baginya.
Madzhab kedua : Al-Hakam, Abu Hanifah, ulama Kufah, Abu Tsaur, dan Abu Ubaid rahimahumullah berpendapat ada ihdad bagi istri yang ditalak tiga.
Perbedaan pendapat ini didasari atas penafsiran yang berbeda terhadap hadits Rosulullah SAW yang berbunyi :
لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثٍ ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ ، فَإِنَّهَا تُحِدُّ عَلَيْهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا [14]
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berihdad terhadap mayat lebih dari tiga hari kecuali bila yang meninggal itu suaminya, maka ia berihdad selama empat bulan sepuluh hari.”
Madzhab pertama menyatakan bahwa  jelas didalam hadits diatas dinyatakan bahwa ihdad hanya ada dikarenakan karena wafat yaitu على ميت  sebagaimana yang tertera dalam hadits diatas, dan juga kelompok pertama yang dimotori Imam Syafi’I Rohimahullah menyatakan :
أَنَّ الْحِدَادَ فِي الْمَنْصُوصِ عَلَيْهِ إنَّمَا وَجَبَ لِحَقِّ الزَّوْجِ تَأَسُّفًا عَلَى مَا فَاتَهَا مِنْ حُسْنِ الْعِشْرَةِ وَإِدَامَةِ الصُّحْبَةِ إلَى وَقْتِ الْمَوْتِ وَهَذَا الْمَعْنَى لَمْ يُوجَدْ فِي الْمُطَلَّقَةِ ؛ لِأَنَّ الزَّوْجَ أَوْحَشَهَا بِالْفُرْقَةِ وَقَطَعَ الْوُصْلَةَ بِاخْتِيَارٍ وَلَمْ يَمُتْ عَنْهَا فَلَا يَلْزَمُهَا التَّأَسُّفُ[15]
Bahwa sesungguhnya Ihdad yang disebutkan dalam Nash merupakan  kewajiban yang ada karena kehilangan suami karena kematian, dan kebaikan-kebaikannya dalam mu’amalah sebagai suami, dan hal ini tidak terdapat dalam talak, karena dalam talak sang suami telah menjahatinya dan memutusnya dengan keinginannya sendiri, sehingga tidak ada taassuf dalam hal ini.
Sedangkan madzhab kedua menyatakan :
أنَّ الْحِدَادَ إنَّمَا وَجَبَ عَلَى الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا لِفَوَاتِ النِّكَاحِ الَّذِي هُوَ نِعْمَةٌ فِي الدِّينِ خَاصَّةً فِي حَقِّهَا لِمَا فِيهِ مِنْ قَضَاءِ شَهْوَتِهَا وَعِفَّتِهَا عَنْ الْحَرَامِ وَصِيَانَةِ نَفْسِهَا عَنْ الْهَلَاكِ بِدُرُورِ النَّفَقَةِ ، وَقَدْ انْقَطَعَ ذَلِكَ كُلُّهُ بِالْمَوْتِ فَلَزِمَهَا الْإِحْدَادُ إظْهَارًا لِلْمُصِيبَةِ وَالْحُزْنِ ، وَقَدْ وُجِدَ هَذَا الْمَعْنَى فِي الْمُطَلَّقَةِ الثَّلَاثِ وَالْمُبَانَةِ فَيَلْزَمُهَا الْإِحْدَادُ[16]
Sesungguhnya Ihdad memang diwajibkan karena meninggalnya sang suami yang menyebabkan hilangnya tali pernikahan yang merupakan ni’mat yang ada dalam agama ini sehingga sang istri bisa melampiaskan kebutuhan syahwatnya secara halal dan juga menjaganya dari perkara-perkara yang diharamkan, dan ketiadaan nafkah, dan hal ini semua terputus dengan meninggalnya sang suami sehingga Ihdad disyariatkan atas dirinya sebagai wujud untuk mengekspresikan kesedihannya. Akan tetapi perkara ini juga terdapat pada wanita yang ditalak dengan talak bain, sehingga sudah seharusnya Ihdad juga disyari’atkan atasnya.
·                     Hal-hal yang harus dijauhi di masa Ihdad
Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha berkata:

كُنَّا نُنْهَى أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثٍ إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا، وَلاَ نَكْتَحِلَ وَلاَ نَطَّيَّبَ وَلاَ نَلْبَسَ ثَوْبًا مَصْبُوْغًا إِلاَّ ثَوْبَ عَصْبٍ. وَقَدْ رَخَصَ لَنَا عِنْدَ الطُّهْرِ إِذَا اغْتَسَلَتْ إِحْدَانَا مِنْ مَحِيْضِهَا فِي نُبْذَةٍ مِنْ كُسْتِ أَظْفَارٍ وَكُنَّا نُنْهَى عَنِ اتِّبَاعِ الْجَنَائِزِ[17]
“Kami dilarang berihdad atas mayat lebih dari tiga hari kecuali bila yang meninggal itu suami maka istrinya berihdad selama empat bulan sepuluh hari. Selama ihdad itu kami tidak boleh bercelak, tidak boleh memakai wangi-wangian, dan tidak boleh mengenakan pakaian yang dicelup kecuali pakaian ‘ashbin. Rasulullah memberikan rukhshah bagi kami ketika suci dari haid, apabila salah seorang dari kami mandi suci dari haidnya ia boleh memakai sedikit kust azhfar  dan kami dilarang untuk mengiringi jenazah” .
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا لاَ تَلْبَسُ الْمُعَصْفَرَ مِنَ الثِّيَابِ وَلاَ الْمُمَشَّقَةَ وَلاَ الْحُلِِّي وَلاَ تَخْضَبُ وَلاَ تَكْتَحِلُ[18]
“Wanita yang ditinggal mati suaminya tidak boleh mengenakan pakaian yang mu’ashfar dan pakaian yang dicelup dengan tanah berwarna merah (mumasysyaqah). Tidak boleh pula mengenakan perhiasan, tidak boleh menyemir rambut (ataupun memacari kuku), dan tidak boleh bercelak.”
Ibnu Qudamah rahimahullahu menyebutkan ada tiga macam yang harus dijauhi wanita yang berihdad.
Pertama: Bersolek/menghiasi dirinya seperti memakai pacar, memakai kosmetik pada wajah, memakai itsmid (celak).
Kedua: Pakaian perhiasan seperti pakaian yang dicelup agar menjadi indah misalnya mu’ashfar, muza’far, celupan berwarna merah, dan seluruh warna yang memperindah pemakainya seperti biru, hijau, dan kuning.
Ketiga: Perhiasan seluruhnya seperti cincin dan yang lainnya. Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “‘Atha` rahimahullahu berkata :
 ‘Dibolehkan memakai perhiasan dari perak karena yang dilarang adalah perhiasan dari emas’, tidaklah benar. Karena larangan yang disebutkan dalam hadits sifatnya umum, dan juga perhiasan akan menambah kebagusan si wanita dan memberi dorongan untuk menggaulinya.”
Wanita yang berihdad tidak boleh memakai celak, minyak wangi/wewangian, pakaian yang dicelup kecuali kain ashb, semir, pacar kuku, pakaian yang dicelup dengan warna merah (mu’ashfar), dan yang dicelup dengan tanah merah (mumasysyaqah) serta perhiasan.[19]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu menjelaskan di dalam kitab Majmu’ fatawa tentang keharusan wanita yang berihdad untuk tidak berhias dan memakai wewangian pada tubuh serta pakaiannya. Ia harus berdiam dalam rumahnya, tidak boleh keluar di siang hari kecuali ada kebutuhan dan tidak boleh pula keluar di waktu malam kecuali darurat. Ia tidak boleh memakai perhiasan, tidak boleh mewarnai rambut dan kukunya dengan inai atau selainnya.

4.                       Sebab-sebab perbedaan pendapat para Ulama
Terjadinya perbedaan pendapat dikalangan para ulama dalam hal penentuan masa Iddah disebabkan oleh perkara-perkara sebagai berikut :
a.                   Perbedaan pandangan mereka tentang makna dari kata Qur’u, yang tercantum dalam firman Allah SWT dalam surah Al Baqoroh ayat 228:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيم
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[20]
Ibnu Rusyd berkata :
وَاخْتَلَفُوا مِنْ هَذِهِ الْآيَةِ فِي الْأَقْرَاءِ مَا هِيَ ؟ فَقَالَ قَوْمٌ : هِيَ الْأَطْهَارُ ( أَعْنِي : الْأَزْمِنَةَ الَّتِي بَيْنَ الدَّمَّيْنِ ) . وَقَالَ قَوْمٌ : هِيَ الدَّمُ نَفْسُهُ .[21]
Ada yang mengartikannya dengan “suci” dan ada pula yang mengartikannya dengan “haid”. Sehingga dengan pengertian yang berbeda itu dapat mengakibatkan perbedaan pada penetapan lamanya masa beriddah.
b.                       Sedangkan dalam hal yang berkaitan dengan wanita yang hamil yang ditinggal mati oleh suaminya terjadi perbedaan juga karena penafsiran yang berbeda dikalangan para ulama tentang kandungan surat Ath Tholaq ayat 4 :

وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“ Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”

5.                       Munaqosyah dan tarjih

Jumhur ulama menyatakan bahwa mengikutkan firman Allah SWT
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
على قوله سبحانه :[22]
Kepada firman Nya :
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
adalah tidak pas, Hal ini dikarenakan firman Allah :

 وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا 
 
adalah awal dari khitob sehingga ia mencakup setiap wanita yang hamil, baik karena talak maupun yang ditinggal mati suaminya.
maka setelah kita memperhatikan dalil-dalil yang digunakan oleh masing-masing kelompok, jelaslah bagi kita bahwa pendapat jumhur ulama yang menyatakan bahwa masa Iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati suaminya berakhir setelah ia melahirkan, hal ini dikarenakan bahwa hadits Subai’ah al aslamiyyah yang telah disepakati ke sahihannya, dan hadits inilah yang menjelaskan bahwa firman Allah SWT : 

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ
Bermakna umum, yaitu bagi wanita yang ditalak maupun bagi wanita yang ditinggal mati suaminya.
Sedangkan masa Iddah bagi wanita yang ditalak oleh suaminya, maka masa Iddah yang rojih menurut penulis adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Ats Tsauri, Al Awza’I, Ibnu Abi Laila, Ali bin Abi Tholib RA, Umar bin Khottob RA, Ibnu Mas’ud RA, dan Abu Musa Al Asy’ari RA yang menyatakan bahwa makna dari Quru’ adalah haid, bukan suci, hal ini dikarenakan dalil-dalil yang digunakan kelompok ini lebih kuat dan lebih aman untuk dilaksanakan.
Untuk masa Ihdad, dari dalil-dalil yang telah dikemukakan diatas, maka penulis menganggap bahwa pendapat ‘Atha`, Rabi’ah, Malik, Al-Laits, Asy-Syafi’i, dan Ibnul Mundzir rahimahumullah yang menyatakan bahwa tidak ada ihdad Ihdad bagi wanita yang ditalak dengan talak ba’in  adalah pendapat yang rajih.

Wallahu a’lam bish showab.
 



Daftar Pustaka


Syamil Al Qur’an Terjemah Per-kata.
Abul Husein, Ahmad bin Faris bin Zakaria, Mu’jam Maqoyisil Lughoh (Darul Fikr, Tahqiq : Abdussalam Muhammad Harun, 1399 H- 1979 H).
Ad Dimasyqi, Abdul Ghoni Al Ghonimi, Al Lubab Fi Syarhil Kitab (Beirut : Maktabah Al ‘Ilmiyyah).
Asy Syarbini, Syamsyuddien Muhammad bin Al Khotib, Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’anil Minhaj (Beirut : Darul Ma’rifah, 1418 H- 1997 M).
Al Kasani, ‘Alauddien Abu Bakar bin Mas’ud, Badai’ush Shonai’ fi Tartibisy Syaroi’ (Beirut : Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, cetakan II, 1406 H- 1986 M).
Al Qurthubi, Ibnu Rusyd, Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (Daarul Ma’rifah, Cetakan ke VI, 1402 H- 1982 M).
Dr. Khuzaemah T Yanggo, Muhadlorot fil Fiqhil Muqorin, 1998, Jilid 2.
Al Bukhory, Muhammad bin Ismail, Shohih Al Bukhory, bab. Wa ulatul ahmaal ajaluhunna an yadlo’na hamlahunna, Jilid. 16, Hal. 261, No. 4909 (maktabah syamilah).
Muslim bin Al Hajjaj, Shohih Muslim, Bab.  Wujubul Ihdad fi Iddatil wafat, Jilid.  9, Hal. 476 (maktabah syamilah).
Abu Daud, Sulaiman bin al Asy’ats bin Syaddad bin ‘Amru, Sunan Abi Daud, bab. Fima tajtanibuhul mu’taddah fi ‘iddatiha, Jilid, 7, Hal. 75, No. 2306. (maktabah syamilah).
Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Kitab Al-‘Idad, mas’alah Tajtanibul mar’ah al mutawaffa ‘anha zawjuha ath thiibu wazzinah, Jilid 18, Hal 68. (maktabah syamilah).


[1] Abul Husein, Ahmad bin Faris bin Zakaria, Mu’jam Maqoyisil Lughoh (Darul Fikr, Tahqiq : Abdussalam Muhammad Harun, 1399 H- 1979 H) jilid 4, hal 29.
[2] Ad Dimasyqi, Abdul Ghoni Al Ghonimi, Al Lubab Fi Syarhil Kitab (Beirut : Maktabah Al ‘Ilmiyyah) Jilid 3, Hal 80
[3] Asy Syarbini, Syamsyuddien Muhammad bin Al Khotib, Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’anil Minhaj (Beirut : Darul Ma’rifah, 1418 H- 1997 M) Jilid 3, Hal 504.
[4] Al Kasani, ‘Alauddien Abu Bakar bin Mas’ud, Badai’ush Shonai’ fi Tartibisy Syaroi’ (Beirut : Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, cetakan II, 1406 H- 1986 M)
[5] Al Qurthubi, Ibnu Rusyd, Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (Daarul Ma’rifah, Cetakan ke VI, 1402 H- 1982 M)  jilid II, hal. 89
[6] Ibid.
[7] Dr. Khuzaemah T Yanggo, Muhadlorot fil Fiqhil Muqorin, 1998, Jilid 2, Hal. 66
[8] Al Bukhory, Muhammad bin Ismail, Shohih Al Bukhory, bab. Wa ulatut ahamaal ajaluhunna an yadlo’na hamlahunna, Jilid. 16, Hal. 261, No. 4909 (maktabah syamilah)
[9] Al Qurthubi, Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid… hal 8
[10] Ad Dimasyqi, Abdul Ghoni Al Ghonimi, Al Lubab Fi Syarhil Kitab…  Jilid. 3 , hal. 80
[11] Al Qurthubi, Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid… hal 8
[12] Al Qurthubi, Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid… hal 8
[13] Al Bukhory,…..Bab. ya ayyuhannabiyyu idza thollaqtumunnsaa’ fa tholliquhunna li’iddatihinna wa ahshul ‘iddah, jilid. 17, Hal. 400
[14] Al Bukhori,….. Bab. Ihdadul mar’ah ‘ala ghoiri zawjiha, Jilid. 5, Hal. 150
Lihat juga, Muslim bin Al Hajjaj, Shohih Muslim, Bab.  Wujubul Ihdad fi Iddatil wafat, Jilid.  9, Hal. 476
[15]   Al Kasani, ‘Alauddien Abu Bakar bin Mas’ud, Badai’ush Shonai’….
[16] Ibid.
[17] Al Bukhory, Muhammad bin Ismail, Shohih Al Bukhory, bab. Aththibu lilnar’ati ‘inda gosliha minal mahidh, Jilid. 2, Hal. 45, No. 313. Dan Muslim Bin al Hajjaj, shohih Muslim, bab. Wujubul ihdad fi ‘iddatil wafat, jilid. 9, Hal. 493, No. 3815 (maktabah syamilahh)

[18] Abu Daud, Sulaiman bin al Asy’ats bin Syaddad bin ‘Amru, Sunan Abi Daud, bab. Fima tajtanibuhul mu’taddah fi ‘iddatiha, Jilid, 7, Hal. 75, No. 2306. (maktabah syamilahh)
[19] Lihat Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Kitab Al-‘Idad, mas’alah Tajtanibul mar’ah al mutawaffa ‘anha zawjuha ath thiibu wazzinah, Jilid 18, Hal 68. (maktabah syamilah).
[20] Syamil Al Qur’an Terjemah Per-Kata, Surah Al BAqoroh (2) Ayat: 228.
[21] Al Qurthubi, Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid… hal 8
[22] Dr. Khuzaemah T Yanggo,…… hal. 66

Tidak ada komentar:

Posting Komentar